Rabu 29 Feb 2012 21:02 WIB

Jazz, Tiupan Kebebasan yang Mendunia

perangko jazz
Foto: ap
perangko jazz

REPUBLIKA.CO.ID, Bagaimana publik di Indonesia mengenal musik jazz? Jika kita merunut ke belakang, musik jazz sebenarnya lebih awal masuk ke Indonesia. Nah, bicara soal musik jazz, tentunya kita harus melihat darimana asal musik ini berasal.

Jazz memang tak dapat meninggalkan tanah airnya, New Orleans, Amerika, kota yang kerap disebut sebagai melting pot of the nations. Dari New Orleans, dari suasana pesta perkawinan, penguburan dan keramaian para budak, jazz melanglang ke Chicago dan penjuru Amerika lainnya.

Kemudian Jazz melibas batas geografis negara lain di seluruh dunia. Lahir dari budak kulit hitam dengan akar musik blues, jazz terus memperpanjang jalan dari ladang-ladang pertanian ke hotel, kafe maupun tembok rumah kaum elit. Tahun 1917-1918, jazz New Orleans mulai terbentuk di New York. Musisi besar segera lahir dari kalangan negro yang membidani lahirnya jazz. Dunia mencatat nama-nama seperti Kid Ory, King, Sidney Becket, Jonny Dodds Oliver, Jelly Roll, dan Jimmy Noone. Tentu saja nama besar Louis Armstrong tak pernah lupa ditinggalkan ketika orang membicarakan jazz.

Jazz terus berjalan hingga tahun 1919. California, Kansas, St Louis juga memiliki grup jazz. Jazz yang di dalam dirinya terdapat unsur musik Afrika dan Indian Amerika akhirnya menjangkiti kaum kulit putih. Nama Papa Jack Laine ada dalam deretan ini.

Di big apple, menjelang meletusnya Perang Dunia II, jazz berkembang menjadi tiga aliran besar, yakni sweet jazz, symphonic jazz, dan swing. Saat itu sebenarnya aroma Dixie dan Boogie Woogie telah tercium. Saat perang dunia usai, jazz mempunyai perkembangan baru. Pertama berkaitan dengan kemampuan bermain musik musisinya dan kedua adanya reaksi atas gejala jazz yang berkiblat pada gaya permainan New Orleans. Perkembangan jazz semakin ramai ketika jazz tidak lagi harus dipandang dari satu titik, yakni New Orleans, namun juga musik primitif macam Afrika dan musik lainnya yang berkembang di Eropa Barat.

Dari percampuran ragam musik akhirnya melahirkan apa yang disebut rudimentary jazz dan kemudian menjadi progressive jazz dengan tokoh Charlie Parker, Lester Young, dan George Lewis. Memasuki dasawarsa 50-an, perkembangan jazz melahirkan istilah modern jazz dengan tokoh Dizzy Gillespie, Paul Desmond, Bud Shank, dan Chico Hamilton.

Beralihnya musisi rock ke jazz pada tahun 70-an melahirkan jazz avant garde. Gerakan yang dipelopori pianis Cecil Taylor, saksofonis Coleman dan Albert Ayler, dan Don Cherry. Dari merekalah kemudian muncul istilah jazzrock.

Seperti juga jazz yang lekat dengan improvisasi, di dalamnya jazz pun berimprovisasi ria. Tahun 1980, jazz rock mulai ditinggalkan. Keinginan untuk melihat jazz sebagai musik tanpa ikatan semakin menggebu. Akhirnya lahirlah fussion yang kemudian digemari anak muda. Nama Freddy Hubbart, Casiopea dan Shakatak sering disebut ketika jazz fussion dimainkan.

Di Indonesia, jangan kaget bila tahun 1920, sebuah band jazz telah berdiri di Ujungpandang. Dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, WR Supratman menjadi komandan grup jazz yang bernama Black and White. Selanjutnya setelah Indonesia merdeka, nama Bill Saragih, Jack Lesmana, Maryono, Eddy Karamoy, dan Bubby Chen dikenal di deretan musisi jazz tanah air. Tahun 1940-an dianggap sebagai masa kehidupan jazz yang baik. Mengimbangi kehadiran jazz, kritik musik pun berjalan mulus seperti yang dilakukan Harry Lim.

Pada perkembangan selanjutnya, nama Ireng Maulana, Embong Rahardjo, Didi Haju, Ermy Kulit, Nunung Wardiman, Vony Sumlang, dan The Rollies mengisi agenda jazz tanah air. Generasi berikutnya terdapat kelompok band Krakatau, Karimata, Bharata, Elfa's, Indonesia Enam dengan pendukung macam Indra Lesmana, Gilang Ramadhan, Dwiki Darmawan, Erwin Gautawa, Dewa Budjana, dan Candra Darusman. Biasanya mereka mengusung warna fussion maupun jazz latin. Tak jarang mereka menggabung unsur musik etnis dalam warna musik mereka.

Meskipun sejak awal abad 20 jazz telah masuk ke Indonesia, namun popularitasnya tidak seramai jenis musik lainnya. Bisa jadi karena berkembang anggapan bahwa mendengar musik jazz dalam bahasa Indonesia terasa canggung. Singkatnya orang Indonesia tidak pas bermain jazz. Jazz hanya beredar di kelas tertentu. Pada tahun 1970 hingga 1980 rekaman jazz sering kurang berhasil. Rekaman jazz Indonesia baru mulai tampak berarti ketika Ireng Maulana menggandeng Ermy Kulit membawakan lagu pop dengan ramuan dixie pada 1980-an.

sumber : berbagai sumber
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement