REPUBLIKA.CO.ID,KUDUS--Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, memiliki lima tempat yang menggelar tradisi "syawalan" dengan ritual yang berbeda-beda.
Kabid Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus Sancaka Dwi Supani di Kudus,Rabu mengatakan, kelima tempat tersebut, yakni Desa Colo (Kecamatan Dawe) yang memiliki tradisi kirab seribu ketupat, Desa Hadipolo (Kecamatan Jekulo) dengan tradisi bulusan, Desa Kesambi (Kecamatan Mejobo) dengan tradisi lomban (pesta sungai). Selain itu, Desa Wonosoco (Kecamatan Undaan) dengan tradisi sendang dewot, dan Desa Purworejo (Kecamatan Bae) dengan tradisi sendang jodoh.
"Perayaan tradisi 'syawalan' di sejumlah lokasi tersebut, perlu dilestarikan karena merupakan tradisi turun temurun dengan ritual yang berbeda-beda. Selain itu, lanjut dia, tradisi tersebut juga menjadi ajang promosi potensi wisata maupun usaha yang ada di masing-masing daerah tersebut.
Ia berharap, kualitas perayaan tradisi "syawalan" di lima daerah tersebut bisa ditingkatkan, sehingga tetap menjadi daya tarik masyarakat sekitar Kudus maupun dari luar Kudus.
Dengan adanya perayaan tradisi syawalan yang digelar setiap tahun tersebut, kata dia, masyarakat tidak hanya turut menjaga kelestarian budaya lokal, melainkan turut menggerakkan roda perekonomian warga sekitar karena di sekitar lokasi perayaan sering dimanfaatkan untuk berjualan aneka kebutuhan masyarakat.
"Hampir di semua lokasi perayaan syawalan, terdapat pedagang kaki lima yang menjajakan aneka kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Ia mengakui, hampir semua lokasi yang menggelar tradisi "syawalan", dipadati pengunjung dari berbagai daerah di Kudus maupun sekitarnya, karena masyarakat di kota ini memang haus tontonan.
Dukungan yang diberikan Pemkab Kudus, berupa dana stimulan untuk mendukung kegiatan "syawalan" di beberapa tempat. "Hanya saja, belum semua daerah mendapatkan dana stimulan karena keterbatasan anggaran yang tersedia. Akan tetapi, masing-masing daerah didorong menggelar tradisi tersebut secara swadaya, agar peran serta masyarakat semakin meningkat," ujarnya.
Berdasarkan pengamatan di Desa Hadipolo, Rabu (7/9), tradisi bulusan sempat membuat arus lalu lintas di Jalan Kudus-Pati mengalami padat merayap, karena banyaknya pengunjung yang hendak menyaksikan tradisi tersebut.
Tradisi bulusan dimeriahkan tarian "bulusan", teatrikal sejarah tentang "bulusan", serta pertunjukan barong sai. Kondisi serupa juga terjadi di Desa Kesambi yang memiliki tradisi lomban, dipadati pengunjung dari berbagai daerah.
Untuk menghindari terjadinya kemacetan arus lalu lintas di desa setempat, dilakukan pengalihan arus lalu lintas. Pengalihan arus lalu lintas juga dilakukan di lokasi perayaan tradisi seribu ketupat di Desa Colo, karena diwarnai dengan prosesi kirab gunungan seribu ketupat Kanjeng Sunan Muria.
Gunungan yang terdiri atas susunan seribu ketupat dan ratusan lepat (jenis makanan dari ketan) diarak dari rumah Kepala Desa setempat menuju Masjid Sunan Muria.
Selanjutnya, dilakukan ritual ziarah ke Makam Sunan Muria, dilanjutkan dengan minum air dan cuci kaki serta tangan dengan air dari gentong peninggalan Sunan Muria dan dilanjutkan dengan penyerahan kupat gunung dari Ketua Yayasan Makam Sunan Muria kepada rombongan.
Dengan dipimpin oleh tokoh ulama setempat, ratusan warga yang ikut mengarak ribuan ketupat dan lepat tersebut ikut membacakan tahlil dan doa bersama, kemudian melakukan kirab ketupat dari masjid menuju Taman Ria Colo yang berjarak sekitar 1 kilometer dari makam.
Ritual tersebut sebagai bentuk suguhan dari masyarakat kepada pengurus masjid dan juru kunci Makam Sunan Muria. Masyarakat yang mengikuti kegiatan tersebut mengenakan beragam busana tradisional khas keraton, seperti beskap dan blangkon.
Di lokasi terakhir tersebut, ratusan warga yang menanti sejak pagi memadati Taman Ria untuk memperebutkan gunungan seribu ketupat yang didoakan oleh tokoh agama setempat.