REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG--Kementerian Perindustrian mencanangkan tahun 2014, Indonesia menjadi pusat busana muslim dunia. Menurut Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Euis Saedah, permintaan pasar dunia yang begitu besar akan model pakaian muslim menjadi alasan utama pencanangan tersebut.
‘’Permintaan dalam negeri besar, akan tetapi coba kita lihat di pasar, jilbab produk China membanjiri pasar,’’ papar Euis Saedah saat mengungkapkan kebijakan Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah dalam Workshop Pendalaman Kebijakan Industri untuk wartawan,di Bandung, (8/4).
Menurut Euis, meski Cina bukan negara berpenduduk muslim yang dominan, akan tetapi karena melihat pasar busana muslim yang makin diminati, mereka pun mulai memproduksinya. Oleh karena itu menurutnya industri kecil dan menengah Indonesia perlu didorong untuk terus memproduksi jilbab dan busana muslim lain. Tetapi produknya bukan hanya jilbab sederhana, akan tetapi busana muslim yang berkualitas dan bisa di ekspor ke luar negeri.
Baginya ekspor ke Eropa ini saat cukup menjanjikan. Hal ini lantaran Eropa mulai melirik busana muslim sebagai pakaian keseharian.’’Pasar Turki apalagi,’’ ungkapnya.
Untuk saat ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik, potensi industri kecil menengah, dari jumlah unit usaha sebesar 725.533 unit dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 820.706 orang. Dengan unit usaha tersebut nilai produksinya sebesar Rp 48 milyar dan ekspor sebesar 2, 893 juta dolar. Selain itu berdasarkan data, fashion menyumbang sekitar 44 persen dari seluruh 14 lingkup industri kreatif.
Selain itu menurut Euis, justru yang lebih mengkhawatirkan ialah masalah industri sepatu. Permasalahan utama di industri sepatu seperti Cibaduyut ialah soal kurang sumber daya manusia yang mampu mendesain sepatu. Berbeda dengan 30 atau 20 tahun lalu dimana Cibaduyut menjadi pusat sepatu, saat ini industrinya terpuruk karena yang tersisa hanya tukang bisa membuat sepatu. Selain itu mesin-mesin tua yang tak lagi bisa membuat sepatu.
Persoalan ini pun ditambah keterbatasan bahan baku kulit dan bahan penolong (lem, sol, aksesoris dan bahan lainnya). Hal ini karena keterbatasan suplai kulit mentah dalam negeri terbatas dan pengadaan kulit impor mengalami kendala teknis dan administratif dengan badan karantina. ‘’Kulit Indonesia yang luar biasa bagus juga kebanyakan di ekspor’’.
Bahan penolong berkualitas tinggi juga kebanyakan di impor. Kalaupun ada dari dalam negeri, biasanya lem, sol atau aksesorisnya berkualitas buruk.