Sakit. Kata itu terdengar begitu menyeramkan. Dan saat ia menimpa, yang langsung terpikirkan di dalam benak kita adalah obat, dokter, puskesmas, atau rumah sakit. Salahkah? Tidak, karena memang kita diwajibkan berikhtiar menggapai kesembuhan. Namun, bukan suatu hal yang baik tentunya, bila yang ada di dalam pikiran kita hanyalah obat, dokter, atau rumah sakit, tanpa memperhatikan sisi spiritual (rohani/jiwa). Padahal, sisi inilah yang semestinya pertama kali muncul ketika musibah sakit menimpa sehingga ikhtiar pengobatan yang dilakukan didasarkan atas perintah Allah dan mengikuti ketentuan yang telah digariskan dalam Islam.
Dengan demikian, kita takkan menuhankan dokter, kita takkan beranggapan bahwa dialah yang menentukan sembuh atau tidaknya seseorang. Dengan ilmunya yang serba terbatas, dokter hanyalah menjalankan proses ikhtiar. Selanjutnya, Allahlah yang menentukan berhasil atau tidaknya pengobatan tersebut.
Ketidakpahaman terhadap hakikat sakit, bagaimana semestinya kita bersikap dalam menghadapi musibah tersebut, serta ketidakmengertian kita akan taburan hikmah di balik musibah itu, menyebabkan kita menjadi panik, bersikap reaktif dan emosional, menyalahkan kondisi, bahkan menyalahkan Sang Pencipta. Na’udzubillaahi min dzalik. Walhasil, kita akan semakin didera penderitaan. Bulir-bulir mutiara yang tersembunyi di balik derita yang kita alami pun tak dapat kita temukan.
Buku 'Sakitku Ibadahku' ini mengajak kita semua, apa pun profesi kita, untuk mengubah paradigma dari ‘akal sentris’ menjadi ‘Ilahiyah sentris’. Akal merupakan potensi yang diberikan oleh Allah untuk dipergunakan dengan optimal dalam rangka menjalani misi sebagai khalifah di muka bumi. Namun, tidak berarti kita lantas menuhankan akal.
Pola pikir bahwa dokterlah yang menyembuhkan pasien adalah pola pikir yang -–bila tidak diluruskan—- akan menimbulkan sejumlah ekses negatif. Ketika pasien menganggap bahwa kesembuhannya ada di tangan dokter, ketika itu pula ia tengah bersiap-siap ‘menyerang’ dokter bila kesembuhan tak kunjung datang.
Karenanya, segala sesuatu -–yang berkaitan dengan musibah sakit yang menimpa—- harus dilihat dan ditempatkan secara proporsional. Melalui buku ini, kita diharapkan dapat memainkan peran dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan Ilahiyah. Saat berperan sebagai dokter atau perawat, kita akan merasa bahwa sikap empati kepada pasien dan keluarga pasien adalah hal yang harus selalu dipraktikkan dalam situasi dan kondisi apa pun.
Bila kita sedang memainkan peran sebagai pasien, sikap optimis tentunya akan selalu kita jaga. Dan bila kita tengah diberikan peran sebagai keluarga atau kerabat pasien, kita tak hanya mencucurkan air mata duka, tetapi dengan tegar memberikan dorongan (support), bimbingan, dan arahan bagi pasien sehingga merasa terayomi.
Buku ini diawali dengan Prolog yang memaparkan bahwa kita tengah berjalan dalam ruang dan waktu yang harus dipahami dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bagian-bagian selanjutnya menjelaskan hakikat sakit (Bab I), apa yang dapat kita lakukan ketika musibah menimpa (Bab II), do’a apa saja yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika sakit (Bab III), bagaimana pelaksanaan shalat saat sakit (Bab IV), makna takdir (Bab V), godaan setan saat sakit (Bab VI), kewajiban keluarga, teman, dan petugas medis (Bab VII), serta diakhiri dengan Epilog berupa ajakan agar kita dapat bersabar dalam menghadapi musibah sakit. Buku ini biasa dibagikan gratis, atau diunduh di link berikut:
http://embunpagi-advertising.blogspot.com/2010/06/buku-open-publish.html
Judul Buku : Sakitku Ibadahku
Penulis : dr H Hanny Ronosulistyo,Sp.OG(K) MM
dr H Zainal Abidin, Sp.THT
KH Aceng Zakaria
Gani Yordani