REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu kekerasan seksual pada anak dinilai merupakan krisis yang memerlukan penanganan komprehensif, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga di garis depan pendidikan. Pemerintah diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan teknis kepada guru dan tenaga pengajar di daerah dalam mengatasi kekerasan seksual pada anak.
Walaupun sudah memiliki regulasi, hingga saat ini pemerintah daerah dan sekolah terutama di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) dinilai masih belum mengetahui mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan. “Pemerintah daerah dan juga guru hingga saat ini tidak begitu memiliki pengetahuan teknis bagaimana mengatasi persoalan tersebut secara komprehensif,” kata Ketua Tim Riset Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak Universitas Indonesia (UI) Emir Chairullah PhD dalam keterangan persnya seusai Diskusi Penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (1/12/2025).
Saat melakukan penelitian yang didanai Direktorat Inovasi & Riset Berdampak Tinggi UI (DIRBT-UI) ini, Emir dan tim menemukan persoalan kekerasan seksual pada anak di NTT merupakan problem yang sangat serius. Yang patut disayangkan, kata dia, banyak pihak baik dari kalangan pemerintah hingga masyarakat belum menjadikan isu kekerasan seksual pada anak ini sebagai problem serius yang harus segera diatasi.
“Padahal kasus ada banyak, namun yang muncul ke permukaan hanya sedikit seperti fenomena gunung es,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.
Penelitian ini diinisiasi oleh peneliti dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI. Selain Emir, tim peneliti ini beranggotakan Dr Annisah M.Kesos; Getar Hati Ph.D; Nurul Isnaeni Ph.D; Shinta Tris Irawati S.Tr.Sos. M.Kesos; Nurma Ayu Wigati S Subroto S.Kom M.Kom; Dr Lidwina Inge Nurtjahyo S.H., M.Si; Aisha Putri Safrianty; Hana Maulida S.Kesos; dan Aviva Lutfiana M.Psi, Psikolog. Penelitian ini juga melibatkan Yayasan Kakak Aman Indonesia, sebuah LSM yang bergerak dalam upaya pencegahan kekerasan seksual anak melalui pendidikan.
Annisah mengatakan saat ini pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual masih terbatas. Sebagai contoh, kebanyakan guru belum berani menjelaskan fungsi anggota tubuh pribadi maupun perlindungannya karena dianggap masih dianggap tabu.
“Padahal pengetahuan ini bertujuan agar anak-anak bisa memproteksi diri ketika menghadapi bahaya kekerasan seksual,” ujarnya.