REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sanitarian Ahli Muda dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, Wuhgini, menjelaskan bahwa air hasil produksi depot air minum isi ulang (DAMIU) bersifat mudah rusak dan tidak tahan lama. Ia menyoroti masih banyak masyarakat yang keliru menganggap air isi ulang dapat disimpan dalam waktu lama seperti air kemasan bermerek.
“Air dari depot tidak boleh disimpan terlalu lama, baik oleh konsumen maupun pemilik depot. Kalau terlalu lama, air bisa berjamur atau terkontaminasi. Depot tidak boleh punya stok, dan konsumen harus membeli secukupnya,” ujarnya dalam sesi edukasi kepada masyarakat, Rabu (30/7/2025).
Wuhgini juga menekankan pentingnya pengujian laboratorium secara berkala. Ia menyebut banyak depot hanya melakukan uji laboratorium saat awal pembukaan, namun mengabaikan kewajiban pengujian bulanan dan semesteran sesuai Peraturan Menteri Kesehatan.
“Sinar ultraviolet (UV) yang digunakan untuk mematikan bakteri pun sering tidak diganti. Padahal alat itu punya batas masa pakai. Kalau sudah lewat dan tidak diganti, maka airnya tidak lagi aman,” tambahnya.
Ia turut menyoroti aspek legalitas depot air minum isi ulang (DAMIU). Menurutnya, masih banyak pelaku usaha depot yang mengira sudah memiliki izin lengkap padahal baru mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB). Padahal, NIB hanyalah tahap awal dan belum mencakup perizinan kesehatan.
“SLHS itu bukti bahwa depot telah memenuhi standar higiene dan sanitasi. Masa berlakunya hanya tiga tahun. Kalau masyarakat melihat stiker SLHS menempel, jangan langsung percaya. Cek apakah masih berlaku atau tidak,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa operator depot merupakan titik rawan dalam rantai distribusi air isi ulang. Perilaku tidak higienis operator dapat menjadi sumber utama kontaminasi.
“Seringkali operator tidak memakai alat pelindung diri, bekerja dalam keadaan sakit, atau memiliki luka terbuka. Kalau tangan yang sedang luka digunakan untuk memegang galon, itu bisa jadi pintu masuk bakteri ke dalam air,” katanya.