Selasa 08 Jul 2025 21:01 WIB

Tren Arsitektur Scandinasian Tumbuh di Bali, Ini Alasannya

Scandinasian kini mulai banyak diaplikasikan dalam pembangunan hunian di Bali

Gaya arsitektur yang dikenal sebagai Scandinasian kini mulai banyak diaplikasikan dalam pembangunan hunian di Pulau Dewata, menyasar konsumen internasional yang semakin selektif terhadap estetika dan fungsionalitas ruang tinggal.
Foto: dok istimewa
Gaya arsitektur yang dikenal sebagai Scandinasian kini mulai banyak diaplikasikan dalam pembangunan hunian di Pulau Dewata, menyasar konsumen internasional yang semakin selektif terhadap estetika dan fungsionalitas ruang tinggal.

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Di tengah pesatnya pertumbuhan sektor properti di Bali, muncul tren desain baru yang mencerminkan pertemuan budaya global dan lokal. Gaya arsitektur yang dikenal sebagai Scandinasian kini mulai banyak diaplikasikan dalam pembangunan hunian di Pulau Dewata, menyasar konsumen internasional yang semakin selektif terhadap estetika dan fungsionalitas ruang tinggal.

Scandinasian merupakan perpaduan gaya minimalis khas Skandinavia dengan sensibilitas desain Asia, termasuk prinsip harmoni dan kesederhanaan ala Jepang serta nilai spiritual dan natural Bali. Gaya ini menekankan pada penggunaan material alami, pencahayaan alami maksimal, tata ruang yang efisien, serta desain yang mudah dirawat khususnya di iklim tropis seperti Bali.

Menurut data pariwisata, Bali mencatatkan kunjungan lebih dari 5,2 juta wisatawan mancanegara sepanjang 2024, naik 24,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Hal ini berdampak langsung pada pasar properti yang semakin kompetitif. Di tengah persaingan tersebut, desain arsitektur yang khas dan fungsional dapat menambah nilai properti hingga 15 persen.

"Para pembeli properti dari luar negeri saat ini tidak hanya mencari tempat tinggal, mereka mencari gaya hidup," ujar Shanny Poijes, Pendiri dan CEO CORE Concept Living, sebuah pengembang properti berbasis di Bali. Desain seperti Scandinasian, menurut dia sangat relevan karena menggabungkan nilai estetika lintas budaya yang telah mereka alami selama bepergian atau tinggal di berbagai negara.

Penerapan gaya ini terlihat dalam berbagai elemen, seperti garis-garis arsitektur yang tegas, penggunaan kayu alami dan aksen logam, hingga furnitur built-in yang praktis namun tetap elegan. Prinsip lagom dari Skandinavia yang berarti “pas” atau tidak berlebihan menjadi filosofi utama, dipadukan dengan kehangatan khas interior Jepang dan sentuhan spiritual Bali.

Salah satu proyek yang mengadopsi pendekatan ini adalah Leviro Residences di kawasan Munggu, Bali. Pengembangnya, CORE Concept Living, mengusung konsep Scandinavian x Japandi x Balinese Soul dalam desain hunian yang akan mulai dibangun akhir 2025. Proyek ini dikembangkan oleh duo asal Swedia, Shanny Poijes dan Victoria Fernandez, yang menilai bahwa pasar properti Bali membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar tampilan eksotis.

“Desain ini menyatukan kehangatan, kesederhanaan, dan efisiensi dalam satu kesatuan. Ini bukan hanya soal tampilan, tapi bagaimana ruang itu bisa berfungsi dan berumur panjang, terutama dalam iklim tropis seperti Bali,” tambah Poijes.

Di sisi lain, gaya Japandi (Jepang-Scandinavia) juga terus berkembang pada 2025, dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan, koneksi dengan alam, dan teknologi cerdas. Menurut Amanda Gunawan, Founding Partner OWIU Studio yang berbasis di Los Angeles, fleksibilitas gaya Skandinavia memungkinkan integrasi yang mulus dengan pendekatan budaya lain.

“Desain Skandinavia selalu menekankan keseimbangan antara fungsi dan keindahan. Ia juga tahan terhadap waktu, tidak mudah lekang oleh tren,” ujar Amanda.

Secara lebih luas, tren ini menggambarkan pergeseran cara pandang pembeli internasional terhadap kualitas hidup. Mereka tak lagi mengutamakan kemewahan mencolok, tetapi mencari ruang tinggal yang tenang, efisien, dan selaras dengan alam sekitar.

Dengan pendekatan ini, gaya Scandinasian tidak sekadar tren desain, tetapi menjadi refleksi dari cara hidup yang menghargai kesederhanaan, keberlanjutan, dan konektivitas sosial. Dalam lanskap multikultural seperti Bali, estetika ini menjelma menjadi bahasa arsitektur yang bisa dimengerti oleh siapa pun, dari mana pun mereka berasal.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement