REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Momen Idul Adha identik dengan semarak aktivitas penyembelihan hewan qurban di berbagai daerah. Di balik itu, ada tantangan besar yang perlu diwaspadai yaitu pengelolaan limbah qurban.
Dosen dari Fakultas Peternakan IPB University, dr Salundik mengingatkan bahwa lonjakan drastis dalam pemotongan hewan qurban harus diimbangi dengan manajemen limbah yang tepat. Jika tidak, limbah tersebut berpotensi besar mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat secara luas.
"Limbah ternak yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak lingkungan serius. Mulai dari bau menyengat, serbuan lalat, hingga gangguan kesehatan terutama karena lokasi penjualan hewan kurban umumnya berada di area perkotaan yang padat," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip pada Senin (2/6/2026).
la menjelaskan, limbah ternak saat qurban dapat dikelompokkan dalam dua kategori yakni limbah di lokasi penjual dan limbah di lokasi penyembelihan. Di lokasi penjual, limbah yang dihasilkan berupa kotoran (feses) dan sisa pakan hijauan.
Penumpukan ternak dalam jumlah besar selama kurang lebih 20 hari menjelang Iduladha menyebabkan akumulasi limbah dalam jumlah signifikan. Sebagai contoh, jika terdapat 50 ekor sapi dengan produksi kotoran rata-rata 20 kilogram per ekor per hari, maka dalam 20 hari akan terkumpul limbah sebanyak 20 ton.
Sementara itu, di lokasi penyembelihan, jenis limbah yang dihasilkan berbeda, yaitu berupa darah, isi rumen, dan saluran pencernaan. Menurut dr Salundik, limbah jenis ini memiliki risiko kontaminasi yang lebih tinggi dan memerlukan penanganan khusus, terlebih di lokasi yang sempit dan tersebar di berbagai titik kota.
Dr Salundik menyarankan agar limbah berupa feses dan sisa pakan dapat dikonversi menjadi produk yang lebih bermanfaat, seperti pupuk organik kompos atau vermikompos. "Ini adalah solusi yang paling mudah diterapkan dan memberikan nilai tambah," ungkapnya. Namun, lanjut dr Salundik, tantangan terbesar dalam implementasi pengolahan limbah di lokasi penyembelihan adalah ketidakpastian jumlah ternak, lokasi yang tersebar, serta keterbatasan lahan.