Kamis 05 Dec 2024 11:59 WIB

Cara Reyog Bertahan Hadapi Gempuran Budaya Modern

Rasa bangga orang Ponorogo membuat Reyog masih bisa eksis hingga kini.

Sejumlah penari Reog Ponorogo tampil di kawasan wisata Telaga Ngebel, Ponorogo, Jawa Timur, Sabtu (30/7/2022). Penampilan seni Reog Ponorogo tersebut untuk menghibur wisatawan pada perayaan tahun baru dalam penanggalan Jawa 1 Sura bersamaan tahun baru Hijriyah 1 Muharam.
Foto: ANTARA/SISWOWIDODO
Sejumlah penari Reog Ponorogo tampil di kawasan wisata Telaga Ngebel, Ponorogo, Jawa Timur, Sabtu (30/7/2022). Penampilan seni Reog Ponorogo tersebut untuk menghibur wisatawan pada perayaan tahun baru dalam penanggalan Jawa 1 Sura bersamaan tahun baru Hijriyah 1 Muharam.

REPUBLIKA.CO.ID, BONDOWOSO -- Hampir semua kesenian tradisional menghadapi tantangan besar saat berhadapan dengan gemerlapnya budaya modern yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi. Reyog (reog) Ponorogo adalah salah satu dari kesenian tradisional di Indonesia yang memiliki kekuatan luar biasa dalam mengarungi pertempuran dengan budaya modern.

Pada 3 Desember 2024, organisasi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan atau UNESCO menetapkan Reyog Ponorogo masuk dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda (WBTb) kategori “In Need of Urgent Safeguarding”.

Baca Juga

Bagi orang Ponorogo, penetapan Reyog sebagai warisan budaya itu bukan sekadar kebanggaan. Melainkan juga menjadi energi tambahan bagi pelaku untuk tetap semangat mempertahankan kesenian nenek moyangnya itu melawan budaya modern masa kini.

Ada beberapa alasan sehingga kesenian Reyog tidak pernah ditinggalkan oleh generasi masa kini Ponorogo, meskipun budaya modern lebih menjanjikan gemerlap dan kemewahan. Budayawan Prof Dr Ayu Sutarto pernah mengemukakan alasan mengapa Reyog, termasuk ludruk, dua kesenian tradisional di Jawa Timur, yang hingga kini masih hidup dan digemari oleh masyarakat.

Ayu, yang kini sudah almarhum, memaparkan dua elemen penyangga Reyog dan ludruk, yakni adanya pewaris aktif dan pewaris pasif. Pewaris aktif ini merujuk kepada mereka yang menjadi pelaku (pemain) kesenian tradisional tersebut, sedangkan pewaris pasif adalah para penikmat atau penonton.

Dua pewaris itu berada dalam relasi yang simbiosis mutualisme, karena satu sama lain saling membutuhkan. Pewaris aktif atau pelaku membutuhkan kehadiran penonton sebagai penikmat, sedangkan pewaris pasif memerlukan hadirnya pelaku kesenian untuk mendapatkan hiburan.

Hingga kini, masyarakat di daerah yang dikenal sebagai "Kota Santri" dan "Kota Dawet" itu, baik pelaku aktif maupun pasif, masih menempatkan Reyog sebagai sarana hiburan, sekaligus sarana merawat kebanggaan sebagai wong Ponorogo.

Pemerintah Kabupaten Ponorogo, beberapa tahun lalu mencatat bahwa hampir semua desa di kabupaten itu memiliki grup Reyog. Bahkan, dalam satu desa ada yang memiliki dua hingga tiga grup Reyog.

Karena itu, kesenian Reyog tidak pernah jauh dari telinga dan mata orang yang tinggal di Ponorogo, termasuk mereka yang masih anak-anak. Apalagi, di sekolah-sekolah juga ada kegiatan ekstrakurikuler Reyog.

Mengenai kebanggaan warga terhadap kesenian Reyog ini memang tidak bisa dihilangkan dari hati orang yang memiliki darah keturunan kota budaya itu. Orang asal Ponorogo yang merantau ke daerah lain tidak pernah lupa dengan hiburan Reyog. Karena itu, di sejumlah daerah di luar Ponorogo kita dengan mudah menjumpai pertunjukan Reyog yang tidak perlu mendatangkan grup dari Ponorogo.

Bahkan, di luar negeri pun, seperti di Malaysia atau Thailand, orang asal Ponorogo tidak lupa dengan Reyog. Karena itulah, kemungkinan, negara Malaysia sempat mendaku Reyog sebagai kebudayaan tradisionalnya. Budayawan dari Ponorogo Dr H Sutejo, MHum mengemukakan bahwa salah satu kondisi yang membuat Reyog tetap mampu bertahan hidup adalah kebanggaan masyarakat terhadap kesenian warisan leluhurnya itu.

Rasa bangga terhadap kekayaan budayanya itu menjadi energi luar biasa bagi Reyog, sehingga tetap hidup dan terus berkembang. Keberadaan grup-grup Reyog di berbagai kota di Indonesia, bahkan di luar negeri, merupakan buah dari kebanggaan masyarakat akan kesenian adiluhungnya itu.

Bagi masyarakat penonton, ketika di daerah perantauan ada pementasan Reyog, hal itu menjadi semacam pengobat rindu pada kampung halaman. Banyaknya penonton yang menikmati pertunjukan juga menjadi penyemangat bagi para pemain untuk menampilkan atraksi Reyog dengan bagus.

Karena itu, orang Ponorogo di perantauan tidak minder ketika mereka menampilkan Reyog.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Ponorogo setiap tahun rutin menggelar festival yang biasanya dilaksanakan pada bulan Muharam atau tahun baru dalam kalender Jawa. Festival dikemas dalam kegiatan besar bernama "Grebeg Suro". Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada Januari 2024 merilis sebanyak 110 ajang yang masuk dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) tahun ini, dan salah satunya adalah Festival Reyog Ponorogo.

Festival tahunan itu menjadi ajang yang selalu ditunggu oleh warga Ponorogo dan kabupaten sekitarnya maupun mereka yang merupakan pelaku aktif dan tinggal di berbagai daerah di Indonesia.

Bukan sekadar sebagai ajang hiburan, pelaksanaan festival itu menjadi penggerak ekonomi di Ponorogo, karena pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memiliki peluang untuk menyediakan berbagai kebutuhan para pengunjung dan grup Reyog dari berbagai daerah, sehingga ada perputaran uang.

Reyog Ponorogo adalah contoh dari sekian banyak budaya tradisi Indonesia yang mampu hidup dan menghidupi warganya.

Mengenai penulisan, kesenian itu awalnya bernama Reyog, termasuk di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tertulis Reyog, bukan Reog. Nama Reog muncul ketika Bupati Ponorogo (kala itu) Markoem Singodimejo dijadikan slogan dan akronim dari "Resik, Endah, Omber Girang-gemirang", yang artinya "Bersih, indah, makmur, bahagia"

Para pewaris kebudayaan tradisional dapat belajar banyak dari kesenian Reyog Ponorogo agar mampu bertahan hidup dan bisa dilestarikan oleh anak cucu.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement