REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bubur asyura menjadi salah satu kuliner tradisional yang sarat nilai sejarah dan makna religius bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Setiap tahunnya, terutama pada bulan Muharam, hidangan ini menjadi sajian istimewa yang dinantikan oleh banyak orang.
Bagi mereka yang belum terlalu mengenal, mungkin terdengar seperti bubur biasa. Namun, di balik kesederhanaannya, bubur asyura menyimpan daya tarik yang luar biasa baik dari segi rasa maupun maknanya.
Nama "asyura" berasal dari kata "asyura" dalam bahasa Arab yang berarti "kesepuluh". Bubur ini biasanya dibuat pada hari ke-10 bulan Muharam. Hari tersebut dikenal sebagai Hari Asyura, salah satu hari penting dalam kalender Islam. Tradisi membuat bubur asyura memiliki makna spiritual serta menggambarkan perasaan syukur dan kebersamaan.
Dikutip dari situs warisanbudaya.kemdikbud.go.id, bubur asyura memiliki dua jenis yakni bubur lemak dan bubur manis. Bubur manis menggunakan gula serta hanya ditambahkan pulut hitam Sedangkan bubur lemak isinya ditambahkan dari beberapa hasil laut, misalnya seperti udang dan cumi-cumi.
Proses memasak bubur ini sering kali melibatkan kerja sama banyak orang, baik itu tetangga maupun anggota keluarga. Dikutip dari situs Sekretariat Majelis Adat Aceh, pembuatan bubur asyura biasanya dilakukan bergotong-royong karena dibuat dalam jumlah yang besar.
Proses pembuatannya dimulai dari persiapan bahan, memotong, dan mengaduk bubur, hingga bubur yang sudah jadi didistribusikan ke rumah yang ada di wilayah tersebut. Memasak bubur asyura dilakukan di salah satu halaman rumah warga atau di tempat umum.
Setiap daerah di Indonesia memiliki versi bubur asyura yang berbeda, sesuai dengan ketersediaan bahan dan budaya setempat. Misalnya, di Sumatra Barat, bubur ini dikenal murah dengan rasa yang manis karena penggunaan gula merah. Sedangkan di Jawa, rasa asin lebih mendominasi dengan tambahan santan dan bumbu dapur.