Senin 01 Jul 2024 16:57 WIB

Pengasuh Ponpes Nikahi Anak di Bawah Umur di Lumajang tanpa Izin Ortu, Sah atau tidak?

Tindakan pengasuh ponpes ini dinilai mencemari nama baik lembaga pendidikan Islam.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Kekerasan seksual (ilustrasi). Kasus pernikahan pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Lumajang dengan anak perempuan berusia 16 tahun dinilai melanggar hukum agama dan negara.
Foto: Republika/Mardiah
Kekerasan seksual (ilustrasi). Kasus pernikahan pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Lumajang dengan anak perempuan berusia 16 tahun dinilai melanggar hukum agama dan negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Perempuan, Anak dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Amany Lubis, menyatakan keprihatinannya atas kasus pernikahan pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Lumajang dengan anak perempuan berusia 16 tahun. Dia menegaskan pernikahan ini telah melanggar hukum agama dan negara.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyebutkan bahwa pasangan nikah setidaknya berumur paling rendah 19 tahun untuk pria dan wanita. Karena itulah, kata Prof Amany, pengasuh ponpes tersebut telah melanggar hukum negara.

Baca Juga

“Saya sangat prihatin dengan kasus ini. Banyak pelanggaran yang sudah dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren terkait pernikahan ini, termasuk hukum negara. Jangan dikira kalau anak perempuan secara fisik sudah besar itu bisa dinikahi, tidak begitu, karena memang sudah ada aturannya dalam undang-undang,” kata Prof Amany saat dihubungi Republika.co.id, Senin (1/7/2024).

Sementara itu, hukum agama yang dilanggar oleh pengasuh ponpes tersebut adalah melangsungkan pernikahan tanpa izin orang tua dari calon mempelai wanita. Dalam tuntunan syariat Islam, kata Prof Amany, ditegaskan bahwa salah satu syarat sah pernikahan adalah adanya wali nikah dari pihak perempuan.

Wali nikah yang diutamakan adalah ayah kandung. Namun jika tidak bisa, Islam memperbolehkan dengan wali nasab (saudara laki-laki dari garis keturunan ayah), wali tahkim dan wali maula.

“Kalau masih ada ayah kandung, harus izin dan beliau yang menjadi wali. Tidak boleh asal-asalan karena itu memang sudah ada tuntunannya dalam syariat Islam. Jika pernikahan itu tanpa wali yang benar, asal-asalan, maka tidak sah,” kata Prof Amany.

Menurut Prof Amany, kasus ini juga bisa dikategorikan sebagai perzinahan karena pengasuh ponpes menikahi anak tersebut dengan iming-iming uang Rp 300 ribu. “Kalau begini sudah bisa masuk perzinahan dalam perspektif fikih. Maka pengasuh ponpes tersebut harus diberi sanksi,” kata dia.

Ia kemudian mengatakan tindakan pengasuh ponpes di Lumajang tersebut telah mencemari nama baik lembaga pendidikan agama Islam. Ia menegaskan bahwa pondok pesantren seharusnya menjadi tempat di mana anak bisa mengenyam pendidikan dengan aman.

“Pesantren adalah tempat pendidikan untuk menanamkan akhlak yang baik dan mendidik karakter anak. Namun pengasuh ponpesnya malah melanggar amanat tersebut, ini kan sudah keterlaluan,” kata dia.

Prof Amany kemudian meminta kepada semua anak perempuan untuk tidak pernah terbujuk dengan rayuan laki-laki. Ia menegaskan, menikah adalah ikatan suci yang amat sakral di mana dua insan yang berlainan jenis diharapkan hidup bersama untuk membentuk keluarga sakinah (tentram), mawaddah (cinta dan harapan), serta warahmah (kasih sayang).

“Menikah itu tujuannya untuk membentuk keluarga Sakinah, jadi memang kita sebagai perempuan harus bisa mempertimbangkan semuanya dengan baik. Jangan karena iming-iming uang dan janji kebahagiaan akhirnya mau (menikah). Generasi muda harus sadar bahwa bahagia itu bersumber dari diri sendiri, bukan menggantungkannya pada orang lain,” kata Prof Amany.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement