Rabu 30 Aug 2017 08:56 WIB

Asosiasi Pengkaji Film Indonesia Gelar Konferensi Pertama

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Esthi Maharani
Film
Foto: pixabay
Film

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Untuk pertama kalinya Konferensi Film Indonesia dan Rapat Paripurna Satu digelar. Konferensi dihelat Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (Kafein) bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IK UMY).

Perhelatan diselenggarakan selama tiga hari sejak 28-31 Agustus 2017 di Amphitheater Gedung KH Ibrahim Kampus Terpadu UMY. Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Seno Gumira Ajidarma mengatakan, kegiatan ini bukan sekadar konferensi tapi peristiwa penting.

"Bukan saja bidang ilmunya, ini adalah hal baru karena merupakan sebuah kajian film yang bukan seperti kritik, tapi lebih kepada penelitian film," kata Seno, Selasa (29/8).

Ia menekankan, ada perbedaan pengkaji dan kritikus karena kritikus sering diposisikan sebagai orang yang mengerti segalanya. Hal itu dikarenakan tugasnya setelah mempertimbangkan menentukan baik atau buruk film, namun bagian penting sosialisasi film.

Seno merasa, kritikus harus dapat hadir sebagai bagian dari wacana sosial budaya secara proporsional, mengimbangi mesin promosi yang penuh selubung manipulasi. Termasuk, mendekatkan jarak saat film hadirkan bahasa visual baru yang belum dikenal.

"Berbeda dengan pengkaji yang memiliki arti menyelidiki, mempelajari dan menguji, sehingga pengkaji diposisikan lebih rendah hati," ujar Seno.

Selain itu, ia mengingatkan pentingnya literasi media bagi masyarakat karena saat ini banyak orang sering tidak sadar tentang media. Terlebbih, semua usia saat ini sudah sangat sering melihat media dan lebih baik jika mengerti tentang apa yang ditonton.

Untuk itu, perlu dilakukan berbagai penelitian guna memperbaikinya sebagai langkah strategis yang penting. Peneliti selaku manusianya perlu memperbanyak kajian metode-metode yang seharusnya digunakan dalam meneliti film melalui diskusi dan referensi atau sejarah.

"Sehingga, kritik yang dikeluarkan tidak hanya mengkritik dengan naluri. Masyarakat baiknya tidak dengan segera membuat kesimpulan, walau suka, karena suka itu faktor personal dan hanya pandangan objektif dari orang yang menonton," kata Seno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement