Sejak Kapan Tradisi THR Ada di Indonesia? Ternyata Bermula dari Sosok Ini

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Qommarria Rostanti

Jumat 29 Mar 2024 20:49 WIB

THR (ilustrasi). Kemunculan tradisi THR di Indonesia tak bisa dipisahkan dari sosok Perdana Menteri Indonesia yang keenam, yaitu Soekiman Wirjosandjojo. Foto: Mgrol101 THR (ilustrasi). Kemunculan tradisi THR di Indonesia tak bisa dipisahkan dari sosok Perdana Menteri Indonesia yang keenam, yaitu Soekiman Wirjosandjojo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi salah satu yang dinanti para karyawan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sebenarnya, sejak kapan THR menjadi tradisi di Indonesia?

Mengacu pada sejumlah sumber, kemunculan tradisi THR di Indonesia tak bisa dipisahkan dari sosok Perdana Menteri Indonesia yang keenam, yaitu Soekiman Wirjosandjojo. Pendiri dan ketua umum pertama Partai Masyumi ini pertama kali memperkenalkan konsep THR pada awal 1950-an.

Baca Juga

Sebagai Perdana Menteri Indonesia keenam, Soekiman memiliki sejumlah program kerja melalui kabinetnya yang bernama Kabinet Sukiman-Suwirjo. Salah satu program kerja kabinet Sukiman-Suwirjo kala itu adalah meningkatkan kesejahteraan aparatur negara atau para pamong praja yang kini lebih dikenal sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Program kerja tersebut diwujudkan dengan pemberian THR kepada para aparatur negara. Kala itu, besaran tunjangan hari raya yang diberikan kepada aparatur negara berkisar antara Rp 125-200 per orang. Seperti dilansir Republika.co.id pada Jumat (29/3/2024), THR bukan diberikan sebagai bonus atau tambahan gaji, melainkan dalam bentuk pinjaman di muka yang nantinya dikembalikan lewat potongan gaji.

Aturan mengenai pemberian THR pertama kali tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri. Dalam peraturan ini, THR hanya berlaku untuk ASN dan belum berlaku untuk pekerja swasta.

Lalu pada 13 Februari 1952, peraturan tersebut mendapatkan tentangan dari kaum buruh atau pekerja karena dianggap tidak adil. Para buruh atau pekerja menuntut agar mereka juga mendapatkan tunjangan serupa dari perusahaan swasta tempat mereka bekerja.

Perjuangan para pekerja akhirnya berbuah manis pada 1954. Kala itu, Menteri Perburuhan Indonesia mengeluarkan surat edaran tentang Hadiah Lebaran. Surat edaran ini bertujuan untuk mengimbau agar perusahaan-perusahaan memberikan Hadiah Lebaran untuk para pekerja dengan besaran seperduabelas dari upah.

Lalu pada 1961, surat edaran tersebut digantikan dengan peraturan menteri yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan Hadiah Lebaran. Hadiah Lebaran ini wajib diberikan kepada pekerja yang telah bekerja selama minimal tiga bulan.

Kemudian pada 1994, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan peraturan menteri yang mengubah istilah Hadiah Lebaran menjadi Tunjangan Hari Raya atau THR. Istilah inilah yang masih digunakan hingga saat ini.

Seperti dilansir dari laman resmi Kominfo, pemberian THR saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa THR Keagamaan merupakan pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau buruh menjelang Hari Raya Keagamaan.

Berdasarkan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 ini, pekerja atau buruh yang bermasa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih berhak untuk mendapat THR sebesar satu bulan upah. Sedangkan pekerja atau buruh yang bermasa kerja minimal satu bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan THR secara proporsional, dengan menghitung jumlah masa kerja dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.

Perusahaan juga bisa membayarkan THR kepada pekerja atau buruh berdasarkan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, selama THR yang dibayarkan lebih baik atau lebih besar dari ketentuan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tersebut. Sedangkan perusahaan yang terlambat atau lalai dalam membayarkan THR bisa dikenakan denda hingga sanksi administratif.