REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- CEO Hybe Amerika, Scooter Braun, kembali mendapat kecaman. Unggahannya di Instagram dikritik warganet karena mengabadikan stereotipe Islamofobia.
Kekerasan yang masih berlangsung di jalur Gaza telah dinyatakan sebagai genosida yang masuk akal oleh Pengadilan Internasional. Hal tersebut juga membuat gerakan pro-Palestina kian meluas termasuk pada fandom K-pop.
Persimpangan antara Hybe dengan fandom telah memelopori tindakan kolektif seperti mempromosikan organisasi akar rumput yang memberikan bantuan di Gaza dan mengadvokasi hak-hak penduduk yang teraniaya. Saat ini, fandom sedang mengorganisasi upaya untuk mendorong Hybe agar menyingkirkan Scooter Braun karena dukungannya terhadap zionis. Para penggemar mempermasalahkan Braun yang menyebarkan narasi tidak manusiawi tentang warga sipil Palestina.
Fandom ini terus-menerus berusaha agar suara mereka didengar oleh Hybe melalui upaya seperti membuat trending #HYBEDivestFromZionism, mengajukan petisi, mengorganisir truk protes, bahkan boikot. Namun sejauh ini, perusahaan belum menanggapi tuntutan itu, kecuali pernyataan singkat melalui media pihak ketiga yang mengundang kritik luas secara daring.
Banyak yang percaya bahwa Braun diam-diam menanggapi gerakan yang sedang berlangsung ini melalui berbagai cara, baik dengan menghubungi akun penggemar secara langsung atau membuat unggahan di akunnya sendiri. Salah satu unggahan Instagram Stories terbarunya dinilai telah menyinggung sebagian besar basis penggemar Hybe karena mengabadikan stereotipe berbahaya terhadap perempuan Palestina.
Kisah yang dimaksud dalam unggahan akun Instagram yang didedikasikan untuk mendukung Israel di seluruh dunia itu, menyiratkan bahwa perempuan di Gaza terus-menerus ditindas karena berada di pemerintahan Hamas. Padahal seperti diketahui bersama, hal itu tidak benar.
Unggahan tersebut langsung menuai kritik luas. Pertama, banyak yang merasa bahwa hal itu menggambarkan stereotipe perempuan Muslim yang ditindas oleh agama mereka sendiri karena tidak memenuhi standar pembebasan Barat.
Kedua, banyak pihak merasa tidak senang jika Braun mempromosikan unggahan yang hanya mempersenjatai penderitaan perempuan di Gaza untuk melanggengkan zionisme. Pada saat yang sama mengabaikan fakta bahwa perempuan-perempuan tersebut berada dalam krisis kemanusiaan yang mengkhawatirkan karena blokade bantuan Israel yang terus berlanjut di Jalur Gaza.
“Beraninya Anda berbicara tentang sejarah perempuan di bawah aturan apapun, ketika orang-orang yang Anda dukung telah membuat perempuan harus melahirkan tanpa anestesi di Gaza. Beraninya kamu! Pria ini benar-benar brengs*k dan itu adalah hal yang baik untuk dikatakan tentang dia,” tulis akun @namgiiist.
“Tidak ada informasi tentang bagaimana perempuan di Gaza dipaksa menggunakan sisa-sisa tenda dan sampah sebagai produk menstruasi? Bagaimana angka keguguran meningkat karena stres yang begitu tinggi? Bagaimana wanita tidak bisa menyusui bayinya sendiri? Bagaimana perempuan bisa menjadi sasaran pelecehan oleh idf? Hybe usir Scooter Braun," tulis akun @greeniefish.
Meskipun situasi hak-hak perempuan di Gaza jauh dari kata ideal, unggahan yang dibagikan ulang oleh Braun itu memiliki beberapa kesalahan faktual. Gaza memang memiliki undang-undang untuk perempuan, termasuk ketentuan hukum yang melarang pemerkosaan.
Menurut laporan United Nation Development Program (UNDP) pada 2019, Palestina secara sepihak meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui Keputusan Presiden No. 19 tahun 2009. Setelah pengakuan PBB atas Palestina sebagai sebuah negara, Palestina menyetujui CEDAW pada 2014. Palestina tidak mengajukan keberatan terhadap CEDAW.
Laporan yang sama menyebutkan bahwa ada larangan hukum terhadap pemerkosaan, baik di Gaza maupun Tepi Barat. Pemerkosaan diancam dengan Pasal 152 KUHP Tahun 1936 di Jalur Gaza dan Pasal 292 KUHP Tahun 1960 di Tepi Barat. Namun, pemerkosaan dalam pernikahan tidak diakui sebagai kejahatan di kedua wilayah tersebut.
Meskipun aborsi dilarang di Tepi Barat berdasarkan KUHP Yordania (Pasal 321–325) dan di Gaza berdasarkan KUHP 1936 (Pasal 175–177), dalam praktiknya, pihak berwenang dikatakan mengizinkan aborsi pada empat bulan pertama kehamilan dalam situasi pemerkosaan atau inses, atau jika ibu mempunyai cacat atau nyawanya dalam bahaya. Selain itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 2000 melarang diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja, dan melindungi perempuan dari pemecatan oleh majikannya karena mengambil cuti melahirkan. Kedua undang-undang ini disebutkan berfungsi dalam laporan UNDP tahun 2019.
Meskipun ketentuan-ketentuan hukum ini mungkin tidak bisa diterapkan secara sempurna di lapangan, banyak yang berpendapat bahwa mengkritik Hamas adalah tindakan yang tidak jujur . Unggahan tersebut tidak mengakui keterlibatan publik Israel dalam kekerasan terhadap perempuan di Gaza, yang sebagian besar disebarkan secara online oleh tentara negara itu sendiri.
“Seseorang tolong suruh Scooter mengunggah tentang kondisi yang dialami perempuan dan gadis-gadis Gaza di bawah penindasan Israel, jika dia memang sangat ingin menunjukkan dua sisi,” tulis akun @iconpjms.
Pembebasan perempuan, seperti yang dikutip dari kritik Braun, tidak dapat membuahkan hasil ketika seluruh penduduk Jalur Gaza berjuang untuk bertahan hidup dalam menghadapi kekerasan yang tidak proporsional, penghinaan seksual, dan kelaparan. Selain itu, berbagai laporan memberikan kesaksian bahwa hak-hak perempuan Palestina juga tidak dilindungi di wilayah Israel, yang menimbulkan pertanyaan tentang seberapa valid kritik Braun dan pembuat poster yang diunggahnya itu.
Banyak penggemar menentang unggahan Scooter Braun. Banyak yang berpendapat unggahan tersebut gagal untuk mengakui bahwa Gaza adalah rumah bagi banyak wanita berpengaruh, termasuk pahlawan seperti dr Amira Al Asouli, jurnalis Hind Khoudary, Plestia Alaqad, dan Bisan Owda, yang merupakan perwakilan penting dari sejarah perempuan dan kehadiran mereka di wilayah tersebut.