Kamis 30 Nov 2023 12:14 WIB

Tawanan Hamas Disebut-sebut Alami Stockholm Syndrome, Apa Itu?

Stockholm Syndrome terjadi saat tahanan memiliki rasa simpati pada penculiknya.

Rep: Meiliza Laveda / Red: Friska Yolandha
Gambar ini diambil dari video yang dirilis oleh brigade Al Qassam di saluran Telegramnya, menunjukkan Yocheved Lifshitz, 85, tengah, dan Nurit Cooper, 79, dikawal oleh Hamas saat mereka dilepaskan ke Palang Merah di lokasi yang tidak diketahui, Senin, (23/10/2023).
Foto:

Sindrom ini pertama kali dinamai pada 1973 oleh Nils Bejerot, seorang kriminolog di Stockholm, Swedia. Dia menggunakan istilah tersebut untuk menjelaskan reaksi tak terduga yang dilakukan para sandera dalam penggerebekan bank terhadap penculiknya.

Meskipun ditahan dalam situasi yang mengancam jiwa, orang-orang ini menjalin hubungan positif dengan para penculiknya. 

Mengapa orang bisa terkena stockholm syndrome?

Tidak semua orang yang berada dalam situasi tersebut mengalami stockholm syndrome. Selain itu, tidak sepenuhnya jelas alasan beberapa orang bereaksi seperti ini. Namun, respons seperti stockholm syndrome dianggap sebagai mekanisme bertahan hidup. Seseorang mungkin menciptakan ikatan ini sebagai cara untuk mengatasi situasi ekstrem dan menakutkan.

Beberapa hal penting tampaknya meningkatkan kemungkinan terjadinya stockholm syndrome, seperti:

 

  • Berada dalam situasi yang penuh emosi untuk waktu yang lama
  • Berada di ruang bersama dengan penyandera dengan kondisi yang buruk (misalnya tidak cukup makanan, ruang yang secara fisik tidak nyaman)
  • Ketika sandera bergantung pada penyandera untuk kebutuhan dasar
  • Ketika ancaman terhadap nyawa tidak dilakukan (misalnya eksekusi palsu)
  • Ketika para sandera belum mengalami dehumanisasi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement