REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama ini, banyak anjuran bagi pekerja untuk menyeimbangkan hidup pribadi dan karier dengan konsep work/life balance. Akan tetapi, menurut seorang pakar, terlalu fokus mencari keseimbangan antara dunia kerja dan kehidupan pribadi, bisa berujung buruk.
Kepala kesehatan dan kesejahteraan mental di Wellbeing, Nicola Eccles, menyarankan untuk meninjau ulang konsep work/life balance yang selama ini diterapkan. Dia berpendapat, konsep itu merupakan kekeliruan, sebuah pendekatan reduksionis dan memecah-belah.
"Akan lebih berguna mempertimbangkan sifat timbal balik antara pekerjaan dan kehidupan, serta melihat bagaimana pekerjaan dapat meningkatkan kehidupan, dan kehidupan dapat meningkatkan pekerjaan," kata Eccles, dikutip dari laman The HR Director, Ahad (26/11/2023).
Dalam pandangan Eccles, aspek kekeliruan dari pendekatan keseimbangan kerja/kehidupan berasal dari anggapan bahwa tuntutan pekerjaan adalah hal yang negatif dan tuntutan rumah adalah hal yang positif. Padahal, keduanya bisa saja bersifat positif dan negatif.
Selama ini, tempat kerja sering kali memberi solusi dengan cara memberi insentif lebih bagi karyawan yang harus mengorbankan waktu pribadinya untuk pekerjaan tambahan. Namun, itu kurang efektif mengatasi masalah yang lebih dalam. Dalam beberapa kasus, malah dapat menambah beban kognitif karyawan yang sudah kewalahan.
Semua ini mengabaikan isu penting dan sentral, yang berkaitan dengan stres. Penelitian yang dilakukan oleh Grawitch pada 2010 mengeksplorasi hal tersebut dan mengusulkan ‘model alokasi sumber daya pribadi’ sebagai solusi terhadap stres di tempat kerja.
Model ini berfokus pada pendekatan integratif terhadap pekerjaan dan kehidupan. Konsepnya, seseorang melakukan hal yang diperlukan untuk mendukung aspek pekerjaan maupun kehidupan pribadi. Diyakini bahwa konsep itu membuat karyawan memiliki budaya kerja yang sehat.
Artinya, seseorang tidak perlu mempertentangkan antara aspek pekerjaan dan kehidupan pribadi, sebab dia punya otonomi mengenai bagaimana, kapan, dan di mana harus mengalokasikan sumber daya waktu untuk itu. Menurut peneliti, itu juga sebuah langkah penting guna mengelola stres dan membangun ketahanan.
Eccles menyoroti, daripada berfokus pada kesenjangan antara pekerjaan dan kehidupan, lebih baik berpikir dengan perspektif lain, yakni sinergitas. "Pengalaman di satu domain dapat menghasilkan energi yang kita gunakan di domain lain. Pengalaman kita di rumah dapat memengaruhi pekerjaan secara positif, dan sebaliknya," tuturnya.