Kamis 05 Oct 2023 12:30 WIB

Ahli Forensi: Masyarakat Harus Bisa Bedakan Tindakan Kedokteran dengan Malapraktik

Ahli forensik minta masyarakat bisa membedakan tindakan kedokteran dengan malapraktik

Ilustrasi Malapraktik. Ahli forensik minta masyarakat bisa membedakan tindakan kedokteran dengan malapraktik
Foto: IST
Ilustrasi Malapraktik. Ahli forensik minta masyarakat bisa membedakan tindakan kedokteran dengan malapraktik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Indonesia Universitas Padjajaran, Yoni Faudah, meminta masyarakat untuk dapat membedakan risiko tindakan kedokteran dan malapraktik berkaitan dengan kasus meninggalnya anak di Bekasi setelah operasi amandel.

“Masyarakat harus memahami bahwa risiko tindakan kedokteran dan tindakan malapraktik itu berbeda,” kata dia dihubungi di Jakarta, Kamis (5/10/2023).

Baca Juga

Ia menyebut risiko tindakan kedokteran termasuk tindakan operasi dan tindakan malapraktik sebagai dua hal yang berbeda. Tindakan malapraktik karena adanya kelalaian dan kurang hati-hati saat melakukan tindakan medik yang secara langsung menyebabkan kerugian berupa penyakit atau kematian.

Risiko tindakan kedokteran, menurut dia, bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, serta selalu mengandung risiko berupa semakin berat penyakit, timbul komplikasi, penyakit baru, hingga kematian, meskipun penyakit yang diderita tidak terlalu berat, seperti pembesaran amandel.

“Risiko tindakan kedokteran itu juga sudah diketahui oleh pasien, keluarga pasien, atau pihak terkait, meski belum tentu terjadi,” kata Yoni.

Ia menjelaskan beberapa hal penting yang harus dilakukan setiap rumah sakit saat melakukan tindakan medis agar tidak diklasifikasikan sebagai malapraktik, yakni proses pemeriksaan pasien sebelum diputuskan untuk tindakan operasi yang harus dilakukan semaksimal mungkin meskipun untuk pasien dengan penyakit ringan, terutama untuk menepis kemungkinan faktor risiko yang berasal dari pasien.

Selain itu, proses pemberian informasi sebelum persetujuan operasi harus dilakukan secara paripurna. Salah satu informasi yang sering terlewati untuk diberikan, yakni keharusan memberi informasi tentang risiko operasi, termasuk risiko pembiusan.

Selain itu, memfungsikan Komite Medik yang wajib ada di setiap rumah sakit agar dapat secara rutin melakukan audit medik internal, terutama mengaudit kasus-kasus yang berakhir dengan kematian, masa rawat yang lama, atau pasien yang tidak sembuh sempurna.

“Audit ini sudah merupakan standar universal untuk mengidentifikasi kemungkinan faktor-faktor yang tidak sempurna dalam pelayanan, misalnya alat rusak, prosedur tidak tepat, atau tenaga medis yang kurang kompeten,” kata dia.

Terkait dengan penerapan sanksi bagi tenaga medis yang terbukti bersalah karena kelalaian atau malapraktik, kata dia, akan ditentukan oleh jenis kesalahan, derajat kesalahan, dan dampak yang ditimbulkan.

Penanganan kasus tersebut dapat diproses melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MDKI) atau melalui Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kelalaian.

“Tetapi pembuktian pidananya sulit jika tidak dilakukan analisis mendalam, termasuk otopsi,” kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement