Ahad 13 Aug 2023 18:50 WIB

Polusi Udara Tertinggi di Jakarta Terjadi di Dini Hari, Ini Alasannya

Jakarta, Jabar, dan Banten perlu duduk bareng mengendalikan sumber pencemaran.

Rep: Eva Rianti/ Red: Agus raharjo
Suasana gedung-gedung bertingkat yang tertutup oleh kabut polusi di Jakarta, Selasa (25/7/2023).Berdasarkan data IQAir pukul 16.29 WIB, Jakarta tercatat menjadi kota dengan kualitas udara dan polusi terburuk di dunia dengan nilai indeks 168 atau masuk kategori tidak sehat. Pemprov DKI Jakarta menempuh kebijakan dengan memperbanyak penanaman pohon sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas udara di Ibu Kota.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana gedung-gedung bertingkat yang tertutup oleh kabut polusi di Jakarta, Selasa (25/7/2023).Berdasarkan data IQAir pukul 16.29 WIB, Jakarta tercatat menjadi kota dengan kualitas udara dan polusi terburuk di dunia dengan nilai indeks 168 atau masuk kategori tidak sehat. Pemprov DKI Jakarta menempuh kebijakan dengan memperbanyak penanaman pohon sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas udara di Ibu Kota.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kualitas udara yang buruk di kawasan Jakarta dan kota-kota penyangga di sekitarnya masih menjadi permasalahan krusial yang dihadapi masyarakat urban. Bahkan, Nafas Indonesia pernah mengungkapkan bahwa waktu dini hari merupakan polusi udara tertinggi.

Padahal, pada waktu-waktu tersebut tidak banyak terjadi pergerakan kendaraan bermotor. Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan kondisi itu memang terjadi di wilayah Ibu Kota.

Baca Juga

Meskipun pada jam-jam dini hari tidak banyak kendaraan bermotor yang berseliweran di jalanan. Artinya, memang faktor polusi udara bukan hanya masalah polutan yang diproduksi oleh kendaraan bermotor saja, melainkan juga dari debu partikuler.

“Ini terverifikasi data DLH (Dinas Lingkungan Hidup) bahwa dini hari terjadi peningkatan PM2.5, terutama di musim-musim kemarau. Kenapa terjadi? Karena PM2.5 ini kan berupa debu partikuler, jadi ketika kondisi penurunan suhu terjadi di Jakarta, itu diiringi dengan turunnya polutan-polutan, itu mengendap ke bawah, jadi PM2.5 itu peningkatannya di jam-jam dini hari, seperti jam 2 pagi sampai jam 8 atau jam 9 pagi, meskipun sebenarnya tidak ada pada saat itu transportasi,” kata Bondan dalam konferensi pers Koalisi Ibukota bertajuk "Pergub Polusi Udara dan Dampaknya pada Hak Warga Jakarta atas Udara Bersih" yang digelar virtual, Ahad (13/8/2023).

Bondan menjelaskan, sebenarnya itu merupakan polutan yang sebelumnya pernah meningkat di jam-jam sebelumnya. Kemudian bergerak mengudara ke atas lantaran bentuknya partikel. Dia mengibaratkan kondisi itu semacam kopi, suatu saat akan mengendap lagi, turun pada jam-jam dini hari beserta dengan turunnya temperatur.

“Karena di jam pagi kondisi angin tidak terlalu tinggi sehingga terjadi pengendapan. Itu yang terjadi di Jakarta. Itu bisa terjadi polutannya berasal dari luar, misalnya angin dari arah Bekasi ke arah Jakarta, bisa jadi PM2.5 akan mengendap dini hari di Jakarta,” tutur dia.

Lebih lanjut, Bondan menyinggung eks pemimpin daerah DKI Jakarta Anies Baswedan yang sempat membahas ihwal polusi udara di Jakarta yang masih belum bisa teratasi. Menurutnya, kepala daerah DKI Jakarta harus berdiskusi bersama dengan kepala daerah provinsi tetangga untuk bisa mengatasi masalah polusi udara.

“Sebelum Anies bilang polusi udara enggak ada KTP, Greenpeace pernah bilang sejak 2017 ada namanya transmission air pollution. Jadi pentingnya atau gunanya Jakarta, Jabar, dan Banten duduk bareng untuk mengendalikan sumber pencemaran udara karena polusi udara itu lintas batas, tidak bisa dipisahkan oleh administrasi,” tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement