REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan mengenai bahaya Bisfenol A (BPA) air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan Polikarbonat (PC) atau galon guna ulang masih terus bergulir. Melihat itu, sejumlah praktisi kesehatan, khususnya yang membidangi kandungan dan kebidanan, menyatakan air minum pada galon guna ulang tidak berbahaya bagi kesehatan janin.
“Janin dalam rahim ibu hamil membutuhkan makanan yang seimbang, baik protein, karbohidrat, dan lemaknya agar perkembangannya menjadi sehat. Kemudian dari minumnya juga harus terjaga betul,” ujar Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi Kebidanan dan Kandungan, Muh Natsir Nugroho, lewat keterangannya, Kamis (3/8/2023).
Sebab itu, Natsir menjelaskan, jika ibu hamil hendak minum, maka jangan meminum minuman mentah, tapi minum air yang sudah matang. Menurut dia, air yang terlalu tinggi iodiumnya juga tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil karena bisa mempengaruhi kesehatan janin dalam kandungannya.
Dia mengatakan, air minum yang paling aman untuk kesehatan janin adalah air minum dalam kemasan. Hal tersebut disebabkan karena air mineral kemasan memiliki rasanya yang sudah dikontrol oleh laboratorium pabrik dan laboratorium kesehatan.
“Jadi, yang mengatakan air minum kemasan galon isi ulang itu membahayakan kesehatan itu tidak benar sama sekali. Sejauh ini, belum ada kasus yang terjadi di masyarakat yang membenarkan hal itu. Itu cuma mitos saja,” kata dia.
Natsir menerangkan, selain faktor makanan dan minuman, yang bisa memengaruhi kesehatan janin dalam kandungan itu adalah faktor lingkungan yang tidak membuat ibunya menjadi stres. Lalu, bisa juga faktor kesehatan ibunya sendiri.
Dia memberikan contoh kasus seorang ibu penderita diabetes. Menurut dia, jika ibunya tidak menjaga gizi makanan seimbang, maka dari dalam kandungan pun bayi sudah bisa mengalami obesitas. “Bayi yang dilahirkan beratnya bisa mencapai 6 kilo atau 6,5 kilo,” jelas dia.
Dokter spesialis kandungan lainnya, M Alamsyah Aziz, mengatakan sampai saat ini dia tidak pernah menemukan adanya gangguan terhadap janin karena ibunya meminum air kemasan galon isi ulang. Sebab itu, dia meminta para ibu hamil agar tidak khawatir menggunakan kemasan galon guna ulang ini.
“Sampai saat ini saya tidak pernah menemukan terkait hal tersebut. Jadi, ibu-ibu hamil jangan khawatir untuk menggunakannya,” ujar dia.
Hal yang tak jauh berbeda juga disampaikan oleh dokter spesialis kandungan, Boyke Dian Nugraha. Menurut Boyke, hingga kini belum ada satu penelitian pun yang membuktikan bahaya penggunaan air minum galon isi ulang oleh ibu hamil. Menurut dia, isu tersebut hanya dugaan-dugaan saja. “Itu belum ada penelitiannya. Itu hanya dugaan-dugaan saja,” kata dia.
Terkait BPA, pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, mengingatkan agar masyarakat tidak menyamakan BPA sebagai zat kimia dan BPA sebagai bahan pembantu dalam pembuatan kemasan galon isi ulang. Dia mengatakan, BPA sebagai zat kimia itu berbeda pengertiannya dengan BPA yang sudah membentuk kemasan. Menurut dia, banyak masyarakat yang salah mengartikannya.
Dia melihat beberapa pihak sering hanya melihat dari sisi BPA-nya saja
yang disebutkan berbahaya bagi kesehatan tanpa memahami bahan bentukannya pada kemasan pangan yang menjadi aman jika digunakan. Menurut dia, BPA itu digunakan dalam proses pembuatan plastik berbahan PC.
Dia menjelaskan, jangankan BPA, garam dapur saja terbentuk dari zat-zat kimia berbahaya yaitu natrium dan klorida. Dia mengatakan, zat natrium itu berbahaya bahkan bisa jadi peledak. Begitu juga dengan klorida sama berbahayanya dan bahkan bisa menyebabkan kematian bagi orang yang menghirupnya.
“Tapi, apakah manusia menjadi mati atau berpenyakit saat menggunakan garam dapur ini? Kan tidak. Apalagi kita hampir setiap hari menggunakannya,” ujar dia.
Untuk itu, Zainal meminta agar masyarakat memahaminya agar tidak dibelokkan oleh informasi yang bisa menyesatkan dan merugikan. Dia juga berharap agar para pakar dan regulator menjelaskan isu BPA secara benar kepada masyarakat secara ilmiah dan jangan dikontroversikan menurut ilustrasi masing-masing yang bisa menyesatkan.
“Jadi, harus dengan data ilmiah sehingga masyarakat kita akan memahami dan bisa mengambil keputusan sendiri,” terang dia.