REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Biaya penggunaan fitur QRIS cukup merepotkan dari sisi pebisnis maupun masyarakat, lantaran baru diberlakukan setelah masyarakat sudah bergantung padanya. Di sisi lain, pebisnis tidak boleh membebankan biaya ini pada pelanggannya.
Salah seorang pebisnis UMKM, Ferry Setiawan, mengaku harus menyiasati ulang komponen perhitungan harga jual masing-masing produk. “Para pedagang yang harus dapat berpikir lebih kritis dan terbuka dengan hal-hal ini,” ucap dia saat dihubungi Republika, Jumat (14/7/2023).
Ia mengakui bahwa QRIS telah memudahkan masyarakat dalam bertransaksi, dan sebagai pebisnis, ia menganggap biaya ini merupakan hal yang wajar. Karena bujet tambahan atas potongan komisi itu, akan berpengaruh pada peningkatan pelayanan.
Apalagi dalam dunia bisnis, penting untuk bisa memonetisasi produk yang telah dibuat agar bisnis tetap bisa berjalan dan untung. “Jadi sebetulnya wajar jika developer mengenakan komisi tambahan itu dengan fitur yang mereka bisa berikan dari QRIS ini,” ucap Ferry.
Namun, untuk biaya sebesar 0,3 persen per transaksi dengan QRIS ini, akan menjadi lebih terasa apabila nominal pembelanjaannya juga besar. Ia berharap angka itu bisa kembali dipertimbangkan.
“Mustahil jika rugi, karena hanya 0,3 persen dari pembayaran QRIS. Tergantung sudut pandang sebetulnya, saya memandang 0,3 persen ini adalah investasi dalam membangun usaha kolaboratif yang memudahkan para konsumen berbelanja. Karena ke depannya, inovasi dan kolaborasi pasti akan terus bermunculan,” kata dia.
Untuk diketahui, bertransaksi menggunakan QRIS sudah tidak gratis lagi. Bank Indonesia (BI) telah memberlakukan biaya atau merchant discount rate (MDR) sebesar 0,3 persen untuk usaha mikro dan transaksi lainnya 0,7 persen mulai 1 Juli 2023.