Senin 22 May 2023 21:15 WIB

Penerbit Ungkap Anomali Hubungan Buku dan Digitalisasi di Dalam Negeri

Digitalisasi ternyata tidak membawa serta minat baca masyarakat ke produk digital

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Suasana Toko Buku Gunung Agung, Jakarta, Senin (22/5/2023). Toko Agung merupakan salah satu perintis toko buku dan alat tulis di Indonesia yang sudah berdiri sejak tahun 1953. Akibat dari kerugian operasional yang berdampak pada perusahaan,  PT GA Tiga Belas atau Toko Buku Gunung Agung berencana akan menutup semua tokonya pada akhir tahun ini. Saat ini Toko Buku Agung tersisa hanya lima toko yang tersebar di beberapa daerah seperti Surabaya, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi dan Jakarta.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Suasana Toko Buku Gunung Agung, Jakarta, Senin (22/5/2023). Toko Agung merupakan salah satu perintis toko buku dan alat tulis di Indonesia yang sudah berdiri sejak tahun 1953. Akibat dari kerugian operasional yang berdampak pada perusahaan, PT GA Tiga Belas atau Toko Buku Gunung Agung berencana akan menutup semua tokonya pada akhir tahun ini. Saat ini Toko Buku Agung tersisa hanya lima toko yang tersebar di beberapa daerah seperti Surabaya, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi dan Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Arys Hilman Nugraha, mengatakan, penjualan buku di Indonesia memang mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sebelum terjadina pandemi Covid-19. Penyebabnya beragam dan tak jauh dari hadirnya digitalisasi di segala aspek di kehidupan masyarakat Indonesia yang berminat baca rendah.

“Bahkan sebelum pandemi terjadi, penjualan buku itu mengalami penurunan di negeri kita. Apakah ada kaitannya dengan digitalisasi? Ya, betul, tentu ada kaitannya dengan itu,” jelas Arys kepada Republika, Senin (22/5/2023).

Arys melihat dampak digitalisasi terhadap dunia perbukuan tersebut dari beberapa sisi. Dari sisi industri, baik pandemi maupun transformasi digital seharusnya dilihat sebagai suatu hal yang memberikan peluang bagi dunia perbukuan untuk mendapatkan sesuatu, bukan justru sebagai ancaman.

“Karena kita bisa melihat bahwa di banyak negara, transformasi digital tidak membuat buku menjadi sesuatu yang tersingkirkan. Di banyak negara, ketika ada digitalisasi, buku justru mendapatkan pasar yang lebih luas,” kata dia.

Dengan digitalisasi, penjualan buku di negara-negara lain pun malah semakin membesar. Dengan adanya lokapasar dan kemudahan yang ditawarkan dunia digital, penjualan buku menjadi lebih mudah untuk dilakukan oleh siapa pun dan ke mana pun.

“Yang bisa kita lihat di sini, pertama, dalam kasus di Indonesia, digitalisasi ternyata dari aspek pembaca itu tidak membawa serta minat baca di dunia digital,” kata dia.

Menurut Arys, jika melihat peringkat situs atau aplikasi yang paling banyak dikunjungi atau digunakan oleh masyarakat Indonesia, situs atau aplikasi mengenai buku berada di urutan belakang, di peringkat puluhan atau bahkan ratusan. Sementara situs atau aplikasi yang ada kaitannya dengan audio, visual, serta media sosial menjadi yang paling digunakan. 

“Jadi digitalisasi tidak membawa masyarakat kita dari masyarakat pembaca menjadi masyarakat pembaca lagi. Tapi karena memang masyarakat kita rendah minat bacanya, begitu dapat sodoran dunia visual langsung tergoda dan kita melupakan bahwa ada buku,” kata Arys.

Selain persoalan di atas, pembajakan menjadi masalah lain yang membuat penjualan buku di era digital di Indonesia tak sebaik di negara-negara lain. Arys mengatakan, dunia digital di Indonesia sangat permisif terhadap pembajakan karena menganggap konten yang ada di dunia digital itu konten harus gratis. 

“Buat penerbit, itu menjadi pukulan. Walaupun mereka berjualan di platform lokapasar, tapi penjualannya tidak bisa menggantikan kehilangan di toko konvensional. Sehingga bukan hanya toko buku yang tutup, tapi juga para penerbit,” tutur dia.

Melihat itu semua, persoalan inti yang dia temukan di tengah masyarakat Indonesia adalah penghargaan terhadap karya intelektual dan pembinaan kebiasaan membaca. Dari sejumlah tolok ukur dalam indeks literasi, kata dia, sejatinya Indonesia tidak memiliki masalah dalam tingkat melek huruf karena 98-99 persen masyarakat bisa membaca.

“Tetapi yang jadi persoalan di kita adalah parameter berikutnya, yaitu akses terhadap bahaan bacaan, kemudian pembinaan kebiasaan membaca. Dua-duanya lemah,” ucap Arys.

Arys menjelaskan, akses terhadap bacaan di Indonesia masih lemah. Jika tidak ada toko buku yang dapat meraih daerah-dearah, maka setidaknya yang diperlukan untuk memperluas akses bacaan adalah kehadiran perpustakaan. Dari sana, ada lagi persoalan, yakni tingkat kelayakan perpustakaan di Indonesia masih rendah.

“Kalau bicara tingkat kelayakan perpustakaan di tingkat SD, itu hanya 19 persen yang dianggap layak. Ketersediaannya pun hanya 60 persen. Begitu juga dengan tingkat SMP, ketersediaan perpustakaan itu hanya 67 persen, tapi tingkat kelayakannya pun hanya 22 persen,” kata dia.

Untuk mengatasi semua persoalan tersebut, kata dia, diperlukan campur tangan pemerintah. Arys mengatakan, Ikapi berharap pemerintah dapat mengambil langkah dengan membuat suatu gerakan literasi, peningkatan minat baca, serta perbaikan akses terhadap bahan bacaan yang dilakukan bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement