REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku seni, Dewi 'Dee' Lestari, mengakui masih banyak seniman Indonesia yang belum memahami langkah yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan pelindungan dan pemanfaatan karya kekayaan intelektual. Ia pun baru memahaminya saat sudah menjalani profesi sebagai penyanyi, pencipta lagu, dan penulis.
Hal itu dikatakan Dee Lestari saat menghadiri Seminar Nasional yang digelar Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham bertemakan 'Perempuan Indonesia Kreatif dan Inovatif: Ekonomi Tangguh' di Jakarta.
“Kreator belum banyak yang tahu apa yang harus dilakukan dengan karyanya. Sebelumnya, saya pun tidak paham ini bisa jadi legacy,” kata Dee Lestari dalam keterangan pers, dikutip Kamis (18/5/2023).
Dee telah mulai berkarier pada 2001 sebagai penulis dan telah merilis 18 buku yang terdiri atas novel, cerita pendek, prosa, dan nonfiksi. Dee juga memiliki 53 lagu yang dinyanyikan sendiri ataupun dibawakan oleh penyanyi lain. Dia mengatakan, pembajakan adalah salah satu musuh utama dalam ekosistem kekayaan intelektual.
“Problem kedua, yaitu pembajakan. Yang pertama sengaja membajak kemudian kedua karena nggak tahu. Mungkin karena aksesnya lebih gampang, misalnya di marketplace. Yang lebih murah yang dibeli, tidak tahu bahwa itu mencederai penulis. Ada juga yang berkedok dalam sharing is caring,” ujar Dee.
Selain Dee, Rosmala Sari Dewi sebagai penari juga membenarkan bahwa peniruan gerakan baru ataupun kreasi bisa mencederai koreografer. Terlebih pada zaman serbainternet ini, viralitas gerakan tarian tidak selalu berbanding lurus dengan manfaat ekonomi yang dirasakan para pencipta gerakan.
“Saat ini banyak sekali platform digital yang membagikan gerakan tari tradisional atau kreasi dengan menggunakan lagu K-POP atau Barat, tanpa memberikan kredit kepada pencipta. Mereka tidak memikirkan dampak jangka panjang apabila gerakan itu nantinya diikuti oleh orang lain,” ujar Rosmala.
Hal ini merugikan koreografer secara langsung. Namun, banyak penari yang tidak menyadari bahwa gerakan tari mereka bisa dilindungi melalui pencatatan ciptaan.
“Saya sendiri awalnya takut untuk membagikan tarian saya di YouTube," ujar Rosmala.
Rosmala mengatakan bahwa profesi menari sebetulnya sangat menjanjikan apabila koreografer dapat melindungi karyanya. Karya tari dapat dilindungi sebagai kekayaan intelektual mandiri ataupun komunal (untuk tari tradisional) sehingga tidak diklaim pihak atau negara lain.
“Di luar negeri pendapatan pelatih tari memang lebih besar daripada di Indonesia. Sayangnya, mereka lupa untuk melindungi karya budaya dari negera mereka sendiri,” kata Rosmala.
Sementara itu, Sub Koordinator Administrasi Permohonan, Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kemenkumham, Aulia Andriadi, menekankan pencatatan karya cipta sangat penting. DJKI telah mempermudah proses pencatatan dengan sistem Persetujuan Otomatis Pencatatan Hak Cipta (POP HC).
“Kami berharap para seniman mencatatkan karyanya di DJKI, hanya memakan waktu 10 menit melalui POP HC, yang penting dokumen-dokumennya lengkap. Pencatatan ini telah membuktikan bahwa karya tersebut ada di database DJKI yang memberikan legal standing kuat apabila di masa depan ada masalah,” ucap Aulia.
Pelindungan karya cipta bersifat deklaratif, artinya akan secara langsung terlindungi ketika karya tersebut sudah dipublikasikan. Kendati demikian, pencatatan ini akan memungkinkan DJKI menindak apabila ada pelanggaran hak cipta.
Sebagai informasi, hak cipta merupakan salah satu rezim yang paling lazim dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu bentuk pelindungan kekayaan intelektual.