Senin 10 Apr 2023 08:24 WIB

Waspadai TBC di Tempat Kerja

Pengidap TBC di Indonesia didominasi oleh usia produktif.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Natalia Endah Hapsari
Tempat kerja disinyalir menjadi salah satu area penularan TBC (ilustrasi)
Foto: Dok Republika
Tempat kerja disinyalir menjadi salah satu area penularan TBC (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Tuberkulosis (TBC) masih menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di Indonesia. Menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia, ada lebih dari 900 ribu orang hidup dengan TBC. Sudah ada Perpres No 67 tahun 2021 tentang penanggulangan Tuberkulosis untuk mengeliminasi TBC pada 2030.

Dalam rangka memperingati Hari TBC Sedunia 2023, Otsuka bersama Najwa Shihab memberikan edukasi dan pemahaman tentang tuberkulosis (TBC) untuk memerangi stigma terkait penyakit tersebut.

Baca Juga

Selama ini, sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki persepsi keliru mengenai penyakit menular itu. Untuk meluruskan kesalahan itu, Otsuka menghadirkan video berjudul "Tepis Stigma Negatif Tuberkulosis di Dunia Kerja" yang tayang di saluran Youtube Narasi dan bisa disimak oleh masyarakat luas.

HR & Corporate Communication Director Otsuka, Sudarmadi Widodo, menyampaikan bahwa pengidap TBC di Indonesia didominasi oleh usia produktif. Tempat kerja disinyalir menjadi salah satu area penularan TBC, karenanya Otsuka menginisiasi Program “Free TBC at Workplaces” yang sudah berjalan sejak Juli 2022.

"Program kami telah diikuti oleh sembilan perusahaan dan saat ini terdapat lebih dari 8.000 karyawan yang telah dilakukan tracing dan screening awal. Mereka yang terkonfirmasi positif TBC akan diberikan program pengobatan yang komprehensif," kata Widodo lewat keterangan resminya.

Menurut Widodo, tantangan yang paling berat saat ini adalah tentang stigma TBC. Ada kecenderungan perusahaan tidak mau membuka diri jika ada karyawan yang positif TBC, atau karyawan malu mengakui penyakit TBC karena adanya citra negatif.

Nyatanya, ada banyak faktor yang mendukung kesembuhan pasien TBC, salah satunya adalah kepatuhan pengobatan. "Karena pasien TBC harus rutin dan teratur minum obat minimal enam bulan sesuai anjuran dokter dan terpenuhi nutrisi hariannya, serta mendapatkan dukungan dari keluarga, rekan kerja dan perusahaan tempat bekerja," ungkap dokter dan medical advisor Yoesrianto Tahir.

Pendiri Narasi, Najwa Shihab, mengutip hasil survei mengenai hal pertama yang terlintas di benak awam ketika mendengar TBC. Ada yang menganggapnya penyakit kutukan, penyakit penduduk pemukiman kumuh, penyakit turunan, atau menganggapnya penyakit flu dan batuk biasa.

Menurur Najwa, stigma negatif tentang TBC harus dilawan bersama-sama. Caranya, dengan memberikan informasi yang benar. Stigma bisa dilawan dengan informasi, sosialisasi, dan edukasi, sehingga untuk menyampaikan tentang informasi yang tepat tentang TBC.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement