Kamis 02 Mar 2023 15:14 WIB

Anda Gemar Flexing? Jangan Heran Kalau Risiko Ini Menghampiri

Dukung konsumerisme, kesejahteraan mental orang jadi memburuk.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Flexing (ilustrasi). Pelaku flexing atau pamer kekayaan di media sosial cenderung memiliki masalah insecurity atau ketidakamanan dan self-esteem atau harga diri yang rendah.
Foto: www.freepik.com
Flexing (ilustrasi). Pelaku flexing atau pamer kekayaan di media sosial cenderung memiliki masalah insecurity atau ketidakamanan dan self-esteem atau harga diri yang rendah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pamer harta, pencapaian, dan gaya hidup mewah kepada orang lain kini jamak dilakukan lewat media sosial. Tindakan itu dikenal dengan istilah flexing.

Menurut studi, ada sederet dampak negatif yang bisa terjadi akibat perilaku tersebut. Mengutip dari laman Insider, Kamis (2/3/2023), sebuah penelitian menunjukkan bahwa pelaku flexing cenderung sukar menjalin pertemanan.

Baca Juga

Riset itu telah diterbitkan dalam jurnal Social Psychological and Personality Science. Temuan studi menyebutkan bahwa 66 persen orang cenderung menyukai mobil mewah daripada mobil standar. Akan tetapi, ketika berkaitan dengan relasi sosial, kebanyakan orang lebih suka berteman dengan orang yang punya kendaraan lebih murah.

"Simbol status seperti mengendarai mobil mewah akan meningkatkan minat terhadap pemakainya, tetapi simbol status seperti itu justru membuat calon teman kurang tertarik untuk berteman (dengan orang itu)," kata salah satu peneliti, Stephen Garcia.

Menurut Garcia, para psikolog menyebut efek tersebut sebagai perbedaan perspektif dalam perbandingan sosial. Simbol status dan apa pun yang terkait dengan hak istimewa justru dapat menjadi bumerang saat seseorang mencoba mencari teman baru.

Sebenarnya, aksi flexing tidak hanya dilakoni Youtuber kekinian atau pengguna Instagram baru-baru ini. Beberapa dekade silam, figur publik Paris Hilton lewat tayangan realitas The Simple Life (2003-2007) sudah melakukannya. Namun, memang kini hal itu kian gencar dilakukan sebagian influencer.

Pakar perilaku konsumen dan strategi pemasaran Carla Abdalla menyoroti tingginya minat terhadap konten gaya hidup menjadi pemicunya. Abdalla bertanya kepada para influencer digital tentang keahlian mereka, dan jawabannya hampir selalu "gaya hidup".

"Ketika saya menanyakan gaya hidup seperti apa, mereka mengatakan itu adalah mengenakan pakaian karya desainer, restoran gourmet, gadget berteknologi tinggi, perjalanan keliling dunia, dan sebagainya. Keahlian mereka adalah konsumsi," ujar pengajar di Armando Alvares Penteado Foundation, Brasil, itu.

Menariknya, pengaruh sosial dari Youtuber dan influencer di Brasil dinilai Abdalla lebih besar daripada orang yang terkenal secara konvensional. Menurut Abdalla, banyak yang menggunakan formula "memulai dari bawah dan kini berhasil mencapai banyak hal".

Elemen berjuang dari nol itu mungkin yang membuat banyak penggemar mengidolakan para influencer, meskipun mereka suka pamer dan melakukan flexin. Media sosial membuat pencapaian yang ada tampak lebih dramatis, dengan berbagai bumbu kisah. Meskipun, bagi pengguna internet yang skeptis, tayangan hiperkonsumerisme itu mungkin sedikit menjijikkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement