REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Jepang menegaskan, saat ini adalah kesempatan terakhir untuk membalikkan tren angka kelahiran yang menurun. Perdana Menteri Fumio Kishida menjanjikan langkah-langkah yang akan berada pada dimensi berbeda dari yang pernah dicoba sebelumnya.
Kishida berjanji untuk secara signifikan meningkatkan nominal uang untuk program-program pendukung anak-anak, yang akan memakan biaya hingga empat persen dari produk domestik bruto. Langkah-langkah seperti tunjangan yang lebih besar untuk keluarga, disambut baik.
Namun, apakah nominal uang yang besar bisa mengurangi krisis angka kelahiran? Sangat mudah untuk menjadi fatalistik jika berbicara soal prospek.
Jika Jepang ditakdirkan untuk menjadi wilayah dengan masyarakat yang hanya memiliki orang tua di dalamnya, ternyata Jepang tidak sendirian. Dilansir dari Japan Times, Kamis (23/2/2023), Gubernur Tokyo Yuriko Koike meyakini hal ini merupakan tantangan global.
Pelaporan tentang penurunan jumlah anak di Jepang selama beberapa dekade ini telah dikaitkan dengan argumen sederhana. Mulai dari terlalu banyak bekerja di kantor hingga stereotip gender yang sudah ketinggalan zaman.
Tren ini digambarkan dengan baik dalam film dokumenter 2013 berjudul No Sex Please, We're Japanese, di mana hubungan disfungsional di kamar tidur dianggap sebagai alasan utama penurunan populasi. Maju cepat satu dekade kemudian, dan rupanya hal sama pun terjadi di kamar tidur orang Barat.
Pembuat kebijakan perlu melihat masalah ini dengan lebih bijaksana. Seperti di tempat lain, para pejabat di Tokyo juga berjuang untuk mengatasi dua tren yang sulit. Pertama adalah usia rata-rata wanita menikah telah meningkat dari 25 tahun pada 1987 menjadi 29 tahun pada 2021, dan mereka yang menunda anak sehingga mengurangi waktu masa subur.
Meskipun pengeluaran untuk fertilisasi in-vitro dan mempermudah memiliki anak di luar pernikahan, mungkin bisa membantu, hal itu sepertinya tidak akan mengubah tren tersebut. Alasan lainnya adalah semakin banyak pasangan suami istri mengatakan bahwa mereka menginginkan lebih sedikit anak. Jika sebagian besar pasangan hanya merencanakan untuk memiliki dua anak, mudah untuk melihat bagaimana rata-rata jumlah anak dengan cepat berkurang atau akhirnya tidak memiliki anak.
Gaya hidup modern dan persaingan yang ketat untuk sekolah, pekerjaan, dan kesuksesan di dunia yang semakin ketat, membuat keluarga lebih banyak bekerja daripada sebelumnya. Orang tua harus memiliki banyak uang, untuk memastikan generasi berikutnya memiliki setiap peluang kesuksesan, mengantarkan anak mereka ke resital piano, kelas tambahan, atau pelajaran senam.
Akademisi menyebut ini sebagai trade-off kuantitas-kualitas, di mana orang tua memilih untuk menginvestasikan lebih banyak uang dan waktu dengan memiliki lebih sedikit anak. Ini bukan hanya masalah uang. Sebuah survei Kantor Kabinet Jepang pada 2014 menemukan bahwa di hampir setiap kategori pendidikan, pekerjaan atau kekayaan, mayoritas orang memilih memiliki dua anak.