Rabu 08 Feb 2023 14:28 WIB

Respons Fikih Peradaban NU, Abdul Mu'ti: Peluang Munculnya Khilafah Kecil

Sekum PP Muhammadiyah merespons rekomendasi Fikih Peradaban I NU soal khilafah.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Hasanul Rizqa
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (Sekum PP) Muhammadiyah, Prof Abdul Mu
Foto: Dok Muhammadiyah
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (Sekum PP) Muhammadiyah, Prof Abdul Mu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah melaksanakan Muktamar Internasional Fikih Peradaban di Surabaya, Jawa Timur, awal pekan ini. Salah satu hasil dari forum mondial tersebut adalah rekomendasi yang berkaitan dengan bentuk negara Khilafah.

Menanggapi butir rekomendasi itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti memberikan apresiasi. Lebih lanjut, ia membenarkan bahwa tidak ada satu bentuk pemerintahan atau negara tertentu yang diutamakan dalam ajaran Islam. 

Baca Juga

Pembicaraan tentang bentuk negara termasuk dalam wilayah muamalah. Kaum Muslimin diberikan kebebasan untuk mengembangkan hal itu, sesuai dengan nila-nilai dan prinsip-prinsip dasar Islam. Dalam sejarah, umat Islam tercatat mengembangkan berbagai bentuk pemerintahan, umpamanya kerajaan dan republik.

Adapun bentuk khalifah, yang dipahami sebagai “pengganti” kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam hal sosial-politik, sudah berakhir dengan usainya masa Khulafaur Rasyidin. "Secara normatif, sesuai dengan Hadits Nabi SAW, kekhalifahan berakhir 30 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW," ujar Abdul Mu’ti kepada Republika.co.id, Rabu (8/2/2023).

 

Sistem monarki dalam sejarah Islam pertama kali diterapkan Dinasti Umayyah. Sejak saat itu, banyak wangsa timbul dan tenggelam. Tidak sedikit pula kerajaan Islam yang saling menjatuhkan.

Kini, sambung Abdul Mu’ti, masih ada negeri-negeri Muslim yang berbentuk kerajaan. Mereka meneruskan legasi dinasti-dinasti keluarga tertentu. Tentunya, banyak pula negeri-negeri Muslim yang menerapkan republik. 

Saat ini, lanjut guru besar UIN Syarif Hidayatullah itu, peluang terwujudnya visi untuk mendirikan pemerintahan Islam di dalam satu entitas, yakni di bawah kepemimpinan seorang khalifah, sangat kecil. Bahkan, hal itu bisa dianggap sebagai utopia. 

"Eksistensi negeri-negeri Muslim sekarang ini tidak mungkin dilebur menjadi (satu) negara. Yang terjadi bukan persatuan,tetapi perpecahan," ucap dia.

Dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah berpendapat bahwa negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah itu berkarakteristik islami. Maknanya, tidak bertentangan dengan Islam. Muhammadiyah memandang usaha mendirikan suatu negara yang berdasar khilafah lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaatnya. 

Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I yang dilaksanakan di Hotel Shangri-La, Surabaya pada Senin (6/2/2023) kemarin membuahkan sejumlah butir rekomendasi. 

Piagam rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I ini tersedia dalam 2 versi bahasa, yaitu Bahasa Arab dan Indonesia. Piagam ini dibacakan oleh KH Musthofa Bisri (Gus Mus) dan Yenny Wahid di acara Puncak Resepsi Harlah 1 Abad NU yang digelar di Gelora Delta Sidoarjo, Selasa (7/2/2023).

“Cita-cita mendirikan kembali negara Khilafah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan non-Muslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi,” demikian petikan rekomendasi yang dilafalkan Gus Mus.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement