Selasa 19 Jul 2022 01:59 WIB

Grooming Anak Terjadi karena Ortu tak Paham Edukasi Gunakan Ponsel

Anak di bawah 18 tahun seharusnya tidak membuka ponsel tanpa pengawasan.ortu.

Rep: C01/ Red: Indira Rezkisari
Orang tua harus mengawasi penggunaan ponsel anaknya yang di bawah 18 tahun terutama untuk menghindari pelecehan seksual.
Foto: EPA-EFE/ALEX PLAVEVSKI
Orang tua harus mengawasi penggunaan ponsel anaknya yang di bawah 18 tahun terutama untuk menghindari pelecehan seksual.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL – Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta mengungkap kasus tindak kekerasan seksual yang menimpa anak-anak secara daring. Kasus tersebut terjadi di Desa Argosari, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY.

Menanggapi kasus kekerasan seksual secara daring, pengamat dari Peneliti Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia (UII) Trias Setiawati mengatakan, kejahatan seksual dengan daring mengalami peningkatkan apalagi setelah pandemi Covid-19. Menurutnya, hal tersebut juga berdampak terhadap meningkatnya angka pernikahan anak di Yogyakarta.

Baca Juga

“Jadi, memang keluarga kita itu sepertinya belum memiliki model pendidikan mengenai cara untuk anak-anak memegang HP, berapa lama waktu yang dibolehkan untuk memegang HP dan apakah usia anak itu boleh punya HP sendiri atau tidak, ini kan masih kabur,” jelas Trias saat ditemui di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (16/7/2022).

Trias menjelaskan, ia memiliki desa binaan yang diperuntukkan guna mendampingi anak-anak TK dan SD. Menurutnya, perkataan yang sering diucapkan oleh anak-anak sudah seperti orang tua. Hal ini terjadi karena mereka memegang ponsel tanpa adanya pengawasan.

Ia menambahkan, orang tua seringkali tidak memahami apa yang dilakukan oleh anak mereka dengan ponselnya. Trias juga menegaskan dalam aturan penggunaan ponsel untuk anak di bawah 18 tahun harus dalam pengawasan orang tua.

“Kaya modus grooming itu kan mereka tahunya dikasih hadiah, orang baik. Terus nanti disuruh buka bagian atas, bawah, dan sebagainya dan mereka ini belum memiliki tingkat kesadaran dan pengetahuan terhadap bahaya seperti itu. Bahkan, bukan hanya anak-anak tetapi banyak juga mahasiswa yang terlibat dengan hal seperti ini,” ujarnya.

Menurut Trias kasus yang terjadi bukan hanya sekadar persoalan kekerasan seksual saja tetapi juga masuk dalam ranah kriminal ketika para korban ini diancam oleh pelaku akan disebarkan identitasnya melalui media sosial. Selain itu, para korban juga kerap mengalami tindak pemerasan uang oleh pelaku. Oleh karena itu, Trias mengatakan sangat diperlukan upaya untuk memberikan literasi bagi orang tua dan anak-anak mengenai bahaya ini.

Trias berpesan untuk para korban khususnya mahasiswa yang ingin bersuara terkait dengan kekerasan atau ancaman yang terjadi dapat mendatangi pusat studi gender, perempuan, dan anak yang ada di kampus. Selain itu, untuk masyarakat dapat mendatangi Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement