Kamis 13 Jan 2022 06:47 WIB

Karya Unik yang Instagramable di Museum MACAN

Museum MACAN akan menghadirkan pameran “Present Continuous/Sekarang Seterusnya”.

Rep: Santi Sopia/ Red: Qommarria Rostanti
Karya lima perupa di Museum MACAN.
Foto: dok. Istimewa
Karya lima perupa di Museum MACAN.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesan modern dan kontemporer cukup kental saat memasuki Museum MACAN yang berada di AKR Tower, Jakarta Barat. Pengunjung dapat mengeksplorasi karya seni unik mulai dari isu seputar feminisme, kemanusiaan, kebijakan, teknologi, maupun ekspresi perupa dari tahun ke tahun.

Banyak juga spot-spot menarik yang Instagramable di sana. Museum MACAN kembali dibuka dengan menghadirkan pameran “Present Continuous/Sekarang Seterusnya” secara fisik pada Sabtu (15/1/2022). Pameran ini mengeksplorasi bagaimana perupa melakukan navigasi seputar memori kolektif, sejarah bunyi dan hubungannya dengan gagasan "lingkungan sekitar". 

Baca Juga

Selain itu, ada juga tentang mitologi dan keanekaragaman hayati serta industri kreatif yang dipimpin perupa, sehingga menghasilkan perubahan kebijakan secara nyata melalui pembangunan ekonomi mikro.

Salah satu perupa, Muhlis Lugis, mengatakan ide membawa cerita rakyat Sangiang Serri dan Meong Mpallo Karallae ke pameran tersebut lahir dari pengalaman masa kecil ketika dia hidup dengan nenek. Sebagai orang Bugis, dia harus melalui ritual khusus sebelum makan, sesuatu yang tidak dialami ketika tinggal dengan orang tua. 

“Saya merasa ritual tradisional tersebut penting dan memiliki makna yang spesial. Melalui karya ini, saya ingin publik, khususnya mereka yang berasal dari luar komunitas Bugis untuk lebih memahami cerita rakyat Sangiang Serri dan Meong Mpallo Karallae, serta nilai-nilainya bagi kehidupan kita,” kata Muhlis, Rabu (12/1/2022).

Perupa asal Bandung, Mira Rizki, menampilkan karya Rebak Raung Warga. Pengunjung akan melihat paduan logam galvanis, beton, sling kabel, dan pengeras suara. Mira selalu tertarik dengan bunyi karena itu menunjukkan kehadiran entitas lain di sekitarnya.

Saat diberlakukan PPKM pasa masa pandemi Covid-19, ada beberapa hal yang berubah. Ketika perkampungan juga menjadi komunitas berpagar karena banyak kendaraan yang melintas akibat penutupan jalan. Awalnya komunitas berpagar ini biasa dikenal hanya untuk warga kompleks atau kelas menengah ke atas. Dari karya Mira dapat terdengar kombinasi suara keran air, ambulans, pedagang keliling, patroli keamanan, hingga bunyi azan.

“Saya mengobservasi sebuah perubahan suasana sonik di area kelas menengah yang berdampak pada pemahaman dan pengalaman kita terhadap ruang,” kata Mira.

Perupa lain, Arifa Safura, menyuguhkan karya Dancing Shadow. Dia mengangkat memori kolektif dan naratif dari dua perempuan yang mengalami trauma akibat konflik di Aceh, di mana yang satu memiliki ketakutan pada pisau, dan lainnya takut pada musik dangdut. Dalam proyek ini, ia berkolaborasi dengan DJ Rencong yang membuat instalasi dan memproduksi musik, sedangkan lukisan dan sketsanya dibuat oleh saya sendiri. 

Sementara itu, Dicky Takndare yang menyajikan Kolektif Udeido, ingin menggali kembali kearifan lokal yang digunakan masyarakat Papua di masa lampau. Hal itu seperti konsep hidup, keyakinan, berbagai pengetahuan tradisional, cerita rakyat, atau nyanyian-nyanyian, lalu mengelaborasikannya dengan narasi kontemporer pada masa kini. 

Praktik tersebut secara kolektif dilakukan untuk mencoba memproyeksikan masa depan yang dirasa ideal bagi masyarakat Papua. Dalam "Present Continuous/Sekarang Seterusnya", tema yang diangkat adalah Transformasi Koreri. Itu datang dari kepercayaan Koreri di Biak. Koreri sendiri diartikan sebagai perdamaian dan orang-orang di Biak percaya bahwa perdamaian akan terwujud suatu hari nanti.

Ade Ahmad Sujai, dari Unit Pelaksana Terrakota Daerah (UPTD), melihat sejarah panjang lempung di Jatiwangi, yang dimulai pada  1905. Warga menggunakan tanah liat untuk membuat genteng. Pada 100 tahun kemudian, Jatiwangi art Factory lahir sebagai komunitas seni yang menggunakan tanah liat sebagai medium utama dalam karya artistiknya. 

“Karya kami, Terraditionale, adalah bagian dari ‘Babad Tanah Terrakota’ yang kami presentasikan dalam bentuk Hawu, sebuah tungku yang dibuat untuk membakar keramik, yang menyimbolkan ibu dari 9 Jebor (pabrik genteng) di Majalengka yang karyanya juga ditampilkan di pameran ini,” ujar Ade.

Diluncurkan pada September tahun lalu, "Present Continuous/ Sekarang Seterusnya" adalah proyek kolaboratif. Proyek ini diinisiasi dan diorganisasi oleh Museum MACAN, bekerja sama dengan lima organisasi seni kontemporer dari seluruh Indonesia yakni Biennale Jogja, Indeks, Jatiwangi art Factory, LOKA, dan Makassar Biennale.

Museum MACAN memulai proyek "Present Continuous/Sekarang Seterusnya’" pada 2021 sebagai tanggapan atas pandemi Covid-19 di Indonesia dan memulai sebuah wadah untuk berbagi informasi dan riset atas komunitas artistik dari seluruh penjuru negeri. Lima ko-kurator yang ditunjuk antara lain, Anwar Jimpe Rachman, Arie Syarifuddin, Elia Nurvista, Putra Hidayatullah, dan Rizki Lazuardi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement