Senin 19 Apr 2021 21:29 WIB

Bahan Plastik BPA dan BPS tidak Aman?

Studi temukan, BPS sebagai pengganti BPA juga tidak aman dipakai.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Nora Azizah
Jenis plastik BPA yang dulu umum digunakan, menjadi kontroversial sejak ada penelitian yang menyoroti kaitannya dengan berbagai macam efek kesehatan yang merugikan kepada manusia.
Foto: www.freepik.com
Jenis plastik BPA yang dulu umum digunakan, menjadi kontroversial sejak ada penelitian yang menyoroti kaitannya dengan berbagai macam efek kesehatan yang merugikan kepada manusia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jenis plastik BPA yang dulu umum digunakan, menjadi kontroversial sejak ada penelitian yang menyoroti kaitannya dengan berbagai macam efek kesehatan yang merugikan kepada manusia. Namun, penelitian terbaru juga menunjukkan, pengganti plastik ini mungkin juga tidak aman.

BPA, atau bisphenol A, adalah bahan kimia yang telah umum digunakan dalam makanan, minuman, dan jenis kemasan lainnya selama beberapa dekade. Para ahli semakin khawatir bahwa BPA dapat menyerap bahan habis pakai ini dan mempengaruhi kesehatan manusia dengan berbagai cara mulai dari disfungsi endokrin hingga kanker.

Baca Juga

Hal ini muncul dari penelitian ilmiah yang mengungkapkan kaitan tersebut sejak tahun 1990-an. Pada akhirnya, kemunculan penelitian ini memunculkan penggantinya yaitu plastik "bebas BPA" sebagai alternatif yang lebih aman.

Sebuah studi baru telah menyelidiki bagaimana senyawa pengganti plastik BPA, berdampak pada sel saraf di otak orang dewasa. Menurut laman New Atlas yang dilansir Kamis (15/4), penulis menemukan, mereka kemungkinan secara permanen mengganggu transmisi sinyal, dan juga mengganggu sirkuit saraf yang terlibat dalam persepsi.

Salah satu alternatif plastik BPA adalah bisphenol S (BPS). Meskipun memungkinkan produsen plastik untuk memasang label bebas BPA pada kemasan mereka, semakin banyak penelitian yang menunjukkan plastik BPS mungkin tidak jauh lebih baik bagi kita.

Sebagai satu contoh, sebuah penelitian tahun lalu menunjukkan melalui eksperimen pada tikus yang sama seperti BPA. Plastik BPS dapat mengubah ekspresi gen di plasenta dan kemungkinan secara fundamental mengganggu perkembangan otak janin.

Para ilmuwan dari Universitas Bayreuth menambahkan bukti yang menunjang fakta tersebut seperti yang dipublikasikan di jurnal Communications Biology. Mereka melakukan studi elektrofisiologi pada sel-sel saraf ikan mas yang dikenakan BPA dan BPS selama satu bulan. Eksperimen ini difokuskan pada dua sel saraf terbesar di otak ikan, sel Mauthner, yang terlibat dalam pemrosesan semua rangsangan sensorik dan membantu vertebrata melarikan diri dari predator.

Dengan menggunakan rekaman in vivo intraseluler, tim menemukan kerusakan dalam koordinasi kunci antara sel-sel otak yang menghambat sel-sel hilir dan sel-sel lain yang merangsang sel-sel hilir, hubungan rumit yang diperlukan untuk sistem saraf yang sehat.

Tim menemukan bahwa plasticizer mempengaruhi transmisi kimia dan listrik dari sinyal melalui sinapsis. Selanjutnya, senyawa juga mengganggu sirkuit yang merupakan kunci untuk memproses rangsangan akustik dan visual. Kerusakan dalam hubungan penghambatan eksitasi telah dikaitkan dengan berbagai gangguan sistem saraf.

"Kami terkejut betapa banyak fungsi otak penting pada ikan yang dipengaruhi oleh bahan peliat yang digunakan di berbagai industri. Kerusakan ini, seperti yang dapat kami tunjukkan, tidak terjadi dengan segera. Namun, ketika sel-sel otak terpapar BPA atau BPS dalam jumlah kecil selama sebulan, kerusakannya jelas," kata penulis pertama studi tersebut, Elisabeth Schirmer.

Para peneliti menjelaskan temuan seputar efek konsentrasi plasticizer yang relevan dengan lingkungan pada otak vertebrata dewasa. Mereka menyebut temuan itu jelas dan mengkhawatirkan, dan mempertimbangkan kemungkinan besar bahwa mereka mempengaruhi otak manusia dewasa dengan cara yang sama.

“Penemuan yang diperoleh melalui studi pada otak ikan membenarkan penilaian bahwa BPA dan BPS juga dapat merusak otak manusia dewasa secara serius. Dengan latar belakang ini, penting bagi sains dan industri untuk mengembangkan plasticizer baru untuk menggantikan bisphenol ini, sekaligus tetap aman untuk kesehatan manusia,” kata penulis studi Dr. Peter Machnik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement