Sabtu 26 Dec 2020 15:13 WIB

Kampung Terompet di Kota Tangsel Kini Tinggal Kenangan

Sejak diterpa beberapa isu, penjualan terompet tak lagi menjadi pilihan masyarakat.

Suasana Kampung Terompet di Gang Keluarga, Jalan Raya Ceger, Kelurahan Jurangmangu Barat, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten.
Foto: Republika/Eva Rianti
Suasana Kampung Terompet di Gang Keluarga, Jalan Raya Ceger, Kelurahan Jurangmangu Barat, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Eva Rianti

Keriuhan pedagang berjualan terompet menjelang tahun baru di Gang Keluarga, Jalan Raya Ceger, Kelurahan Jurangmangu Barat, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. kini tinggal kenangan. Kawasan yang dikenal luas sebagai 'Kampung Terompet' ini telah menanggalkan tradisi memproduksi terompet pada pengujung akhir tahun, setidaknya dalam empat tahun belakangan.

Pada Kamis (24/12) sekitar pukul 10.30 WIB, Republika menyambangi kampung tersebut dan tidak mendapati adanya geliat masyarakat yang memproduksi terompet. Seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan, hanya tinggal seorang perajin yang masih memproduksi terompet. Namun, produksinya hanya dalam jumlah kecil.

Haris nama perajin terompet satu-satunya yang tersisa. Ketika ditemui di rumahnya, Haris mengaku, tidak lagi berjualan terompet. "Udah enggak. Empat atau lima tahun sudah (penjualan terompet lesu). Ya tahu sendiri lah (faktornya apa),” ujar Haris singkat.

Pengamatan di kediamannya, terlihat puluhan terompet teronggok di depan teras rumah. Dari luar rumah, terlihat pula ada sejumlah terompet yang digantung di dinding rumahnya. Terompet berdesain warna-warni tersebut merupakan stok sisa tahun-tahun sebelumnya yang tidak terjual.

Haris mengaku, telah beralih pekerjaan dengan membuka ruko di kampung halamanya di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dalam beberapa tahun ke belakang. Dia menjelaskan, kehadirannya di 'Kampung Terompet' dilakukan sesekali untuk mengunjungi anak dan cucunya.

Dia menegaskan, tidak lagi memiliki urusan berjualan terompet. "Enggak, enggak (memproduksi) lagi," kata Haris sambil berusaha mengakhiri pembicaraan.  

Tak jauh dari rumah Haris, seorang warga yang pernah menjadi perajin terompet, Parmi (42 tahun) mengaku, bersama dengan suaminya pernah mengambil peruntungan dari berjualan terompet. Namun, semenjak diterpa beberapa isu, penjualan terompet tak lagi menjadi pilihan masyarakat yang ingin menyambut pergantian tahun.

Salah satu faktornya, sambung dia, isu sentimen meniup terompet dianggap sebagai tradisi di luar Islam. Di samping itu, sambung dia, juga karena semakin banyak terompet di pasaran tidak hanya yang terbuat dari kertas.

Parmi menuturkan, pendapatan dari memproduksi dan berjualan terompet dulunya sangat menggiurkan. Dia bisa meraup hingga puluhan juta rupiah, dengan hanya berjualan selama sepekan pada momen Natal hingga tahun baru.

“Tahun kapan itu cuma dapat Rp 200 ribu doang, biasanya jutaan, puluhan juta. Ada yang sampai Rp 50 juta. Sekarang sudah mati, enggak laku, enggak ada minat,” kata Parmi.  

Saat masih berdagang terompet, Parmi dan suaminya bahkan bisa mengajak sanak saudara dari kampung untuk bekerja membantu bemproduksi terompet pada akhir Desember. Tahun ini, sama dengan beberapa tahun terakhir, Parmi dan suaminya tidak lagi membuat terompet.

Pendapatan sehari-hari Parmi adalah berjualan pecel, sementara suaminya berjualan mainan anak-anak. “Sekarang tinggal jualan, enggak pake (usaha) terompet lagi, teman-teman saya juga,” tutur Parmi.

Ketua RT Gang Keluarga, Abdul Aziz menyampaikan, warga di lingkungannya telah menyuplai terompet selama puluhan tahun. Hal itu pula yang membuat muncul sebutan 'Kampung Terompet' atau 'Gang Terompet'. Di setiap rumah warga, kata dia, bertahun-tahun penuh dengan aktivitas pembuatan terompet, bahkan proses produksi meluber hingga di teras-teras rumah.

“Dulu mah penjualannya masya Allah laris bener, yang ngambil itu dari (daerah) mana-mana. Hampir semua warga (jualan terompet), dari depan (gang) ke belakang,” ucap Azis.

Dia mencatat, ada sekitar 30 orang yang memproduksi terompet pada saat masa jayanya. Puluhan prajin itu memiliki sejumlah karyawan yang diperbantukan untuk menjalankan produksi. Omzet mereka tak tanggung-tanggung, yakni ada yang sampai ratusan juta rupiah. "Buset bisa kebeli mobil. Bisa mah (untung besar)."

Namun, lagi-lagi, semua itu tinggal kenangan. Usaha terompet di wilayahnya telah mati dalam beberapa tahun belakangan. Azis menganalisis, penjualan terompet tradisional kalah bersaing dengan jenis terompet produksi pabrik.

Di samping itu, permintaan masyarakat yang merayakan tahun baru dengan meniup terompet semakin menurun dari tahun ke tahun. “Sekarang sudah enggak ada yang produksi sama sekali,” ucap Azis.

Dia menyebut, para warganya kini mayoritas beralih menjadi pedagang makanan dan mainan, terutama mereka yang memang sehari-hari berjualan terompet. Kondisi mereka, menurut Azis, tidak terbilang bagus, apalagi diperparah dengan krisis pandemi Covid-19.

Aziz mengaku merasa kasihan dengan kondisi warganya saat ini, lantaran ada yang harus kembali ke tempat asal. "Ada yang pulang kampung, kebanyakan dari Jawa,” kata Aziz.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement